Bekasi, IAINews — Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) sering kali menjadi kelompok yang terlupakan. Mereka terabaikan oleh keluarga, tersisih dari lingkungan sosial, dan hidup di jalanan hanya untuk bertahan. Dari kepedulian dan empati terhadap sesama, Yayasan Galuh di Kota Bekasi hadir menjadi tempat bernaung bagi mereka—menampung, merawat, dan memberi harapan bagi jiwa-jiwa yang sempat kehilangan arah.
Melihat kondisi para penghuni panti yang memprihatinkan, lebih dari 120 apoteker dan tenaga vokasi kefarmasian (TVK) di bawah naungan Pengurus Cabang Ikatan Apoteker Indonesia (PC IAI) Kota Bekasi) turun langsung ke lokasi pada Sabtu, 4 Oktober 2025.

Kegiatan pengabdian masyarakat bertajuk “Pharmacists Strengthening Mental Health: Peduli dan Berbagi Bersama ODGJ” ini menjadi bagian dari peringatan World Pharmacist Day (WPD) yang setiap tahun jatuh pada 25 September, dengan tema global “Think Health, Think Pharmacist.”
“Pengabdian masyarakat untuk pasien ODGJ belum pernah dilakukan sebelumnya. Hari ini, apoteker hadir bukan hanya untuk memberikan obat, tetapi juga harapan, perhatian, dan semangat bagi mereka yang membutuhkan. Ini wujud nyata bahwa profesi apoteker hadir untuk masyarakat—fisik dan mental.” ujar apt. Adlis Rahman, MM, Ketua PC IAI Kota Bekasi.
Kegiatan ini didukung penuh oleh Dinas Kesehatan Kota Bekasi, DPRD Kota Bekasi, serta jajaran pemerintah daerah, termasuk Ketua Komisi IV DPRD Kota Bekasi Ibu Adelia, S.H., MM, Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Camat Rawalumbu dan Lurah Sepanjang Jaya. Mereka hadir langsung di lokasi untuk memberikan apresiasi dan dukungan terhadap aksi sosial para apoteker Bekasi.

Yayasan Galuh: Empat Dekade Menyembuhkan dengan Cinta dan Empati
Pagi itu, suasana di Yayasan Galuh, Kecamatan Rawalumbu, terasa haru sekaligus menggugah. Reporter IAINews, apt. Erie Gusnellyanti, S.Si, MKM, tak ayal lagi sulit membendung genangan air di sudut mata. Ditambah lagi saat melihat ratusan ODGJ berseragam kaos ungu tengah duduk di lapangan. Bersama para undangan lainnya, Ia ikut mendampingi secara simbolis salah satu ODGJ perempuan lansia saat menerima pengobatan.

“Selama ini kita sering melihat ODGJ hanya satu-satu di tepian jalan. Sekarang melihat mereka ada ratusan di tempat ini dalam kondisi mengenaskan, Saya tak kuat menahan haru,” tuturnya sambil mengusap air mata yang mengalir perlahan.
apt. Chevy Luviana, S.Si., MM, Gr, Sekretaris PC IAI Kota Bekasi, mengajak redaksi IAINews sekaligus Ketua Bidang Humas PP IAI yang akrab disapa “Kak Nelly” tersebut untuk berkeliling panti.
Seorang apoteker muda berjongkok di depan pasien, mengoleskan krim anti-skabies di kaki tanpa rasa jijik—sebuah pemandangan yang menunjukkan empati lebih kuat dari rasa takut.
“Pendekatan personal dari apoteker sangat penting, terutama bagi pasien dengan kondisi mental yang membutuhkan perhatian lebih,” ujar Chevy sambil mengamati aksi apoteker perempuan tersebut.

Dari kejauhan, tampak bangunan berjeruji besi dua lantai berwarna biru—lantai bawah untuk laki-laki, lantai atas untuk perempuan.
“Di sebelah sana, ada ruangan seperti kerangkeng yang menampung para ODGJ yang sulit dikendalikan,” cerita Chevy.
Saat mendekat, beberapa pasien menempelkan wajah di balik jeruji, berusaha menggapaikan tangan keluar.
“Mbak… kami mau pulang, sudah bosan di sini!” teriak mereka bergantian, dengan mata lelah namun penuh harap.
Di balik jeruji itu, tampak puluhan ODGJ duduk di lantai tanpa alas di ruang besar berbau menyengat.
“Percuma diberi alas tidur, tikar apalagi kasur, mereka akan robek-robek. Jadi mereka lebih suka tidur di lantai, bahkan buang air juga di tempat,” jelas Jajat, petugas Yayasan Galuh yang ditemui siang itu.
Jajat kemudian menceritakan lebih jauh tentang sejarah panjang Yayasan Galuh. Tempat itu didirikan oleh Engkong Suhanda, kakeknya, pada tahun 1982. Awalnya, kondisi panti sangat terbatas—pasien dirantai ke tiang besi karena tidak ada sarana pengamanan.

“Dulu semua masih berantakan. Mereka (ODGJ) diikat ke besi dengan rantai satu meter. Tapi kami tetap berusaha menolong sebisanya. Sekarang sudah lebih baik, walau masih sederhana,” ujarnya.
Dengan bantuan pemerintah, LSM, dan masyarakat, yayasan ini perlahan berkembang menjadi rumah perlindungan bagi lebih dari 380 pasien ODGJ. Dari jumlah itu, sebagian besar adalah orang jalanan tanpa identitas. Biasanya pasien hanya dirawat selama tiga bulan sebelum dijemput kembali. Ada juga yang bahkan sudah puluhan tahun tinggal di sana tanpa diketahui di mana keluarga mereka.
Lebih jauh Jajat menceritakan, hanya sekitar 20 dari 50-an pengurus yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan atau perawat. Selebihnya adalah sukarelawan, yang diupah sekedarnya dari donasi yang terkumpul. Ia sendiri pun sejatinya bukanlah seorang tenaga kesehatan, walau kerap disapa Kepala Perawat oleh para penghuni panti.
“Saya bilang ke semua pengurus, kalau mau cari uang, ini bukan tempatnya. Di sini harus punya jiwa sosial tinggi,” tambah Jajat.
Selama lebih dari 25 tahun mendampingi pasien ODGJ, Jajat mengaku sudah terbiasa menghadapi berbagai kondisi—dari yang tenang hingga yang labil.
Memahami ODGJ dan Upaya Kesehatan Jiwa oleh Pemerintah
Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang jatuh pada 10 Oktober 2025 dengan tema “Mental Health is a Universal Human Right” menjadi momen refleksi penting bagi profesi kesehatan untuk Peduli pada ODGJ, seperti halnya apoteker Kota Bekasi ini.
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah individu yang mengalami gangguan dalam pikiran, perasaan, atau perilaku yang menyebabkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi hidupnya, serta telah didiagnosis sesuai kriteria medis. Istilah ini menggantikan istilah lama “orang gila” untuk menghapus stigma negatif dan menegaskan bahwa mereka adalah pasien yang membutuhkan perawatan kesehatan, bukan pengucilan sosial.
Gangguan jiwa merupakan kondisi medis yang kompleks dan mencakup spektrum luas, seperti depresi, gangguan kecemasan, bipolar, dan skizofrenia. Penggunaan istilah ODGJ menekankan tiga hal penting:
- Menghapus stigma: agar masyarakat berhenti memandang penderita gangguan jiwa sebagai aib atau ancaman.
- Menekankan aspek kesehatan: bahwa gangguan jiwa adalah kondisi medis yang bisa diobati.
- Mendorong pemulihan: bahwa dengan dukungan, pengobatan, dan lingkungan yang baik, pasien ODGJ bisa pulih dan hidup produktif kembali.
Pemerintah Indonesia telah memberikan dasar hukum yang kuat bagi penanganan kesehatan jiwa melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Undang-undang mengatur bahwa Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa yang komprehensif, berkesinambungan, dan berbasis masyarakat.
Upaya tersebut meliputi:
- Menjamin setiap warga dapat mencapai kesejahteraan mental dan terbebas dari tekanan serta diskriminasi;
- Menyelenggarakan pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi bagi penderita gangguan jiwa;
- Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa di seluruh tingkatan, termasuk berbasis komunitas;
- Menangani pasien ODGJ telantar atau tanpa keluarga dengan pendekatan lintas sektor;
- Melibatkan keluarga dan masyarakat dalam proses dukungan psikososial dan pemulihan.
Yayasan Galuh merupakan bentuk nyata dari layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 17 Tahun 2023.
Dengan dukungan sukarelawan dan tenaga kesehatan, yayasan ini menjalankan fungsi rehabilitasi sosial dan pelayanan kemanusiaan bagi ratusan pasien ODGJ yang membutuhkan tempat, perhatian, dan kasih sayang.
Walikota Bekasi Tri Adhianto, baru-baru ini berkunjung ke sana sebagai bentuk kepedulian dan dukungan penuh pemerintah terhadap masyarakat dengan kondisi khusus, termasuk ODGJ. Dalam kunjungan tersebut, Tri menegaskan bahwa Pemerintah Kota Bekasi akan terus hadir dan berdiri untuk seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali.
Apoteker Hadir untuk Jiwa
Kegiatan bakti sosial PC IAI Kota Bekasi di Yayasan Galuh bukan sekadar pemeriksaan kesehatan. Di bawah koordinasi apt. Rify Yulia Trisna, S.Farm, Ketua Panitia sekaligus Plt. Kepala Puskesmas Sepanjang Jaya, acara ini dikemas dengan penuh makna dan empati.
Selain pelayanan kesehatan, disertai penyerahan bantuan sosial berupa beras, pakaian, sabun mandi, air mineral, disinfektan, dan kebutuhan dasar lainnya. Semua donasi berasal dari para apoteker peserta kegiatan.
“Melayani ODGJ bukan pekerjaan mudah. Tapi apoteker bisa jadi teman, pendengar, bahkan penguat semangat mereka,” tutur Rify.
Aksi IAI Bekasi di Yayasan Galuh ini menegaskan bahwa kesehatan jiwa adalah hak setiap manusia, dan perhatian terhadap pasien gangguan mental merupakan bentuk kemanusiaan yang paling hakiki.

Apoteker Kota Bekasi membuktikan bahwa profesi mereka bukan hanya tentang menyiapkan obat, tetapi juga tentang merawat kemanusiaan dan memulihkan harapan. Sejalan dengan tema World Pharmacist Day 2025, “Think Health, Think Pharmacist”, apoteker Bekasi menunjukkan kepedulian mereka bukan hanya bagi gangguan kesehatan secara fisik, namun juga mental. (EgN)
Berita terkait:
https://iainews.net/150-odgj-terbantu-aksi-inspiratif-apoteker-bekasi/


















