Informasi
Hubungi Redaksi IAINews melalui email : humas@iai.id
Floating Left Ads
Floating Right Ads
banner 950x90

Hari Kesehatan Mental Sedunia, Konseling Apoteker Minimalkan Efek Samping

banner 120x600
banner 468x60

SEJARAH Hari Kesehatan Mental Sedunia (World Mental Health Day) dimulai pada tahun 1992 atas inisiatif dari Federasi Dunia untuk Kesehatan Mental (World Federation for Mental Health/WFMH), sebuah organisasi kesehatan mental global.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Federasi Dunia untuk Kesehatan Mental (WFMH) memainkan peran kunci dalam mempromosikan hari ini, dengan tema yang berbeda setiap tahunnya untuk menyoroti aspek kesehatan mental tertentu.

Iklan ×

Hari Kesehatan Mental Sedunia (World Mental Health Day) diperingati setiap tanggal 10 Oktober setiap tahunnya.

Peringatan ini bertujuan untuk:

  • Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu kesehatan mental.
  • Memobilisasi upaya untuk mendukung kesehatan mental.
  • Mengadvokasi melawan stigma sosial terkait masalah kesehatan mental.

Setiap tahunnya peringatan ini mengusung tema global yang berbeda untuk menyoroti masalah kesehatan mental yang paling mendesak, seperti kesehatan mental remaja, kesehatan mental di tempat kerja, dan pencegahan bunuh diri.

Peringatan ini didukung secara luas oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan ribuan organisasi, pemerintah, serta individu di lebih dari 150 negara, menjadikannya platform strategis untuk meningkatkan kesadaran, melawan stigma, dan memobilisasi upaya untuk perawatan kesehatan mental.

Apoteker sebagai ‘Garda Terdepan’ yang Terlupakan

Dalam hiruk pikuk perayaan Hari Kesehatan Mental Sedunia, fokus utama sering tertuju pada peran krusial para psikiater dan psikolog. Mereka adalah benteng utama dalam diagnosis dan psikoterapi.

Namun, ada satu profesi kesehatan yang perannya dalam rantai penanganan kesehatan mental sering terlewatkan, padahal mereka adalah ‘garda terdepan’ yang paling mudah dijangkau masyarakat: apoteker.

Di tengah tingginya stigma dan rasa malu yang membuat banyak orang enggan melangkah ke klinik atau rumah sakit jiwa, apotek komunitas menjadi titik akses kesehatan yang paling netral dan nyaman.

Apoteker di balik meja adalah wajah pertama yang ditemui pasien saat mengambil resep obat, termasuk obat-obatan psikotropika yang sensitif. Inilah peluang emas yang sering terabaikan.

Baca Juga  Peran Apoteker dalam Evaluasi Dampak Kesehatan

Apoteker bukan hanya juru hitung obat, tetapi seharusnya menjadi konselor dan pengawas terapi yang mampu menjalin konseling ‘hati ke hati’, mengubah meja apotek menjadi ruang aman, dan memastikan bahwa pengobatan mental tidak hanya tepat dosis, tetapi juga tepat jiwa.

Peran Ganda Apoteker (Meminimalkan & Mengoptimalkan)

Peran pertama apoteker adalah meminimalkan efek samping. Hal ini adalah peran teknis farmasi yang krusial untuk memastikan keamanan terapi.

Apoteker dapat melakukan identifikasi dan edukasi efek samping. Jelaskan bahwa obat psikiatri (antidepresan, antipsikotik) sering memiliki efek samping yang membuat pasien takut atau enggan. Apoteker harus memberikan penjelasan detail tentang:

  • Apa yang harus diwaspadai (misalnya, kantuk, pusing, mulut kering).
  • Kapan efek samping akan muncul (biasanya awal terapi).
  • Bagaimana cara mengatasinya (strategi sederhana).

Peran lain apoteker Adalah memeriksa interaksi antara obat psikotropika dengan obat lain (misalnya obat penyakit kronis, obat bebas/suplemen) yang mungkin juga dikonsumsi pasien.

Peran apoteker sangat krusial dan memiliki tanggung jawab besar dalam memeriksa interaksi obat, terutama yang melibatkan obat psikotropika, demi keselamatan dan keberhasilan terapi pasien.

Lakukan Langkah-langkah berikut :

  1. Skrining dan Kajian Resep (Drug Review/Screening)

Apoteker wajib melakukan kajian resep yang komprehensif, yang dikenal sebagai Skrining Klinis (Clinical Screening), yang meliputi:

  • Identifikasi Interaksi Obat: Apoteker menggunakan pengetahuan farmakologi dan database interaksi obat untuk secara aktif mencari potensi interaksi antara:
    • Obat Psikotropika (seperti antidepresan, antipsikotik, atau anxiolytic) dengan obat resep lain yang dikonsumsi pasien (misalnya obat penyakit kronis seperti antihipertensi, obat diabetes, atau obat jantung).
    • Obat Psikotropika dengan Obat Bebas (OTC), Suplemen Herbal, atau Suplemen Makanan yang mungkin tidak tercantum dalam resep dokter namun dikonsumsi pasien. Banyak suplemen herbal (seperti St. John’s Wort) dapat memengaruhi metabolisme obat psikotropika.
  • Kajian Kontraindikasi: Memastikan tidak ada kondisi pasien (misalnya kondisi medis tertentu) yang membuat obat psikotropika atau kombinasi obat menjadi berbahaya.
  • Duplikasi Terapi: Memeriksa apakah ada dua obat berbeda yang memiliki efek terapeutik atau efek samping yang sama, yang dapat meningkatkan risiko toksisitas.
  1. Pengambilan Riwayat Pengobatan Pasien (Medication History Taking)
Baca Juga  Ditjen Farmalkes Gelar Public Hearing RUU Kesehatan untuk Menampung Masukan Masyarakat

Karena pasien seringkali tidak memberitahu dokter tentang semua obat non-resep atau suplemen yang mereka konsumsi, apoteker memiliki peran penting untuk:

  • Menggali Informasi Aktif: Melakukan wawancara langsung dengan pasien untuk mendapatkan daftar lengkap semua yang dikonsumsi pasien, termasuk:
    • Semua obat resep, bahkan dari dokter yang berbeda.
    • Obat bebas (misalnya obat flu, pereda nyeri).
    • Vitamin, mineral, dan suplemen herbal.
    • Alkohol, kafein, dan produk tembakau, karena dapat berinteraksi dengan psikotropika.
  • Membuat Catatan Pengobatan Pasien (Patient Medication Record): Mendokumentasikan semua informasi obat untuk digunakan sebagai acuan dalam setiap pelayanan selanjutnya, terutama untuk pasien penyakit kronis yang sering berganti-ganti dokter atau apotek.
  1. Manajemen Masalah Terkait Obat (Drug Related Problems/DRP)

Jika ditemukan potensi interaksi yang signifikan, apoteker bertanggung jawab untuk:

  • Menentukan Prioritas Masalah: Menilai tingkat keparahan interaksi (minor, moderat, atau mayor/mengancam jiwa). Interaksi obat psikotropika sering kali berisiko tinggi (misalnya Sindrom Serotonin dari kombinasi antidepresan tertentu).
  • Komunikasi dengan Dokter: Wajib menghubungi dokter penulis resep untuk mendiskusikan temuan interaksi dan memberikan rekomendasi klinis. Rekomendasi dapat berupa penyesuaian dosis, perubahan jadwal minum obat, atau penggantian salah satu obat.
  • Pemberian Informasi Obat (PIO) kepada Pasien: Menjelaskan kepada pasien secara jelas dan sederhana mengenai:
    • Risiko interaksi yang mungkin terjadi.
    • Gejala yang harus diwaspadai (misalnya pusing, mengantuk berlebihan, atau palpitasi jantung).
    • Cara meminimalkan risiko (misalnya menjaga jarak waktu minum obat, menghindari makanan/minuman tertentu).
  1. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Baca Juga  Kepala BPOM Ingatkan, Influencer Bisa Kena Pidana Bila Sebarkan Hasil Uji Lab Karena Bersifat Rahasia

Apoteker, terutama pada pasien dengan pengobatan psikotropika jangka panjang atau penyakit kronis, harus melakukan pemantauan berkelanjutan untuk:

  • Mengevaluasi Efektivitas dan Keamanan: Memastikan terapi berhasil dan tidak muncul efek samping atau tanda-tanda interaksi yang merugikan.
  • Monitoring Efek Samping Obat (MESO): Mencatat dan melaporkan setiap efek samping, termasuk yang berasal dari interaksi obat, kepada Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.

Strategi Tepat Guna :  teknik konseling seperti show-and-tell dan memastikan dosis serta waktu minum obat yang benar-benar dipahami oleh pasien/keluarga.

Mengoptimalkan Kesehatan Mental (Peran Dukungan Psikososial). Ini adalah bagian “Hati ke Hati” yang meningkatkan kualitas hidup pasien.

  • Meningkatkan Kepatuhan (Adherence): konseling empati membangun kepercayaan, yang secara langsung meningkatkan motivasi pasien untuk rutin minum obat jangka panjang.
  • Konteks: Terapi obat psikiatri sering kali harus dilakukan dalam waktu yang lama.
  • Penekanan: Risiko kekambuhan akibat putus obat tanpa konsultasi.
  • Peran Sebagai Pendengar Empatik (Active Listening): Apoteker harus menciptakan ruang aman (safe space) bagi pasien untuk berbagi kecemasan tentang penyakitnya atau obatnya, tanpa menghakimi. Ini membantu pasien merasa didukung.
  • Mengikis Stigma dan Miskonsepsi: Apoteker dapat menggunakan konseling untuk meluruskan mitos-mitos negatif tentang gangguan mental dan obat-obatan, misalnya: “Obat ini tidak akan membuat Anda gila” atau “Gangguan mental itu sama dengan penyakit fisik lainnya.”

Hari Kesehatan Mental Sedunia diciptakan sebagai hari internasional untuk pendidikan, kesadaran, dan advokasi global melawan stigma sosial dan untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang memiliki masalah kesehatan mental.***

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

banner 950x90