BAGI penderita irritable bowel syndrome (IBS), menjalani diet rendah FODMAP sering kali menjadi titik balik yang membantu mengendalikan gejala.
Namun, ada satu hal yang sering terlupakan: obat-obatan yang diminum sehari-hari juga bisa memengaruhi kondisi pencernaan.
×
Di sinilah peran apoteker menjadi sangat penting. Mereka bukan hanya sekadar penjaga apotek yang menyerahkan obat, tapi juga mitra yang bisa membantu pasien menavigasi dunia pengobatan sekaligus menjaga kelancaran diet rendah FODMAP.
Seorang pasien IBS bernama Rina disiplin menjalani diet rendah FODMAP selama tiga minggu.
Gejalanya jauh berkurang, perut tidak sering kembung, dan dia bisa bekerja lebih fokus. Namun suatu hari, Rina mengalami batuk pilek dan membeli obat sirup di apotek tanpa konsultasi.
Setelah dua hari minum obat, gejalanya kambuh: perut kembung, kram, bahkan diare. Rina bingung karena makanannya sudah sesuai aturan.
Ternyata, setelah dicek bersama apoteker, sirup batuk yang ia konsumsi mengandung sorbitol—pemanis buatan yang masuk dalam kategori tinggi FODMAP dan sering menjadi pemicu IBS.
Kasus Rina menunjukkan betapa pentingnya peran apoteker. Seandainya sejak awal ia bertanya, apoteker bisa merekomendasikan obat batuk dalam bentuk tablet atau lozenges tanpa sorbitol yang lebih aman untuk pencernaannya. Hal kecil seperti ini bisa mencegah “drama perut” yang sering menghantui pasien IBS.
Apoteker memiliki peran strategis untuk mencegah masalah seperti itu. Mereka dapat membantu pasien memeriksa komposisi obat yang diresepkan dokter atau obat bebas yang dibeli di apotek.
Lebih jauh lagi, apoteker bisa memberikan alternatif obat yang lebih ramah untuk usus, misalnya memilih sediaan bebas laktosa untuk pasien yang intoleran, atau menyarankan obat dengan bahan tambahan yang tidak memperburuk gejala.
Pengetahuan apoteker tentang interaksi antara diet, bahan tambahan pangan, dan kandungan obat menjadikan mereka kunci penting dalam menjaga konsistensi diet rendah FODMAP.
Selain itu, apoteker juga dapat membantu mengedukasi pasien mengenai cara minum obat yang tepat agar tidak mengganggu pola makan.
Misalnya, ada pasien yang perlu minum obat bersama makanan, padahal makanan tertentu bisa memicu gejala.
Dengan arahan apoteker, pasien bisa mengatur waktu minum obat agar sesuai dengan jadwal makan rendah FODMAP yang sudah disusun.
Pendekatan ini membuat pasien merasa lebih aman dan percaya diri, karena mereka tahu ada tenaga kesehatan yang mengerti tantangan unik yang mereka hadapi.
Peran apoteker juga mencakup aspek psikologis. Pasien IBS sering kali merasa cemas karena takut salah makan atau salah obat yang berujung pada gejala tak nyaman.
Dukungan apoteker yang penuh empati, ditambah dengan penjelasan sederhana tentang pilihan obat dan hubungannya dengan diet FODMAP, mampu mengurangi kecemasan ini.
Dengan begitu, pasien tidak hanya menjalani terapi medis, tapi juga merasa didampingi dalam setiap langkah perjalanan mereka.
Pada akhirnya, diet rendah FODMAP memang bisa mengubah kualitas hidup pasien IBS. Tetapi keberhasilan diet ini tidak berdiri sendiri.
Dibutuhkan kerja sama antara pasien, dokter, ahli gizi, dan tentu saja apoteker yang memahami seluk-beluk obat serta pengaruhnya pada sistem pencernaan. Jadi, lain kali kamu merasa bingung soal obat yang kamu konsumsi saat menjalani diet ini, jangan ragu untuk berdiskusi.
Tanya dulu ke apoteker, biar diet FODMAP-mu tetap on track, obatmu tetap aman, dan ususmu bisa hidup lebih damai tanpa drama.***
