
Ditulis oleh: Dr. apt. Lusy Noviani, MM (Praktisi, Trainer dan Dosen FKIK Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya)
Swamedikasi pada kondisi hamil dan menyusui harus mendapat perhatian lebih terutama dalam hal keamanan pengobatannya terhadap janin dan bayi.
Seperti kita ketahui disaat janin dan plasenta tumbuh, akan semakin banyak perubahan yang terjadi pada ibu hamil seperti, perubahan fisik, perubahan metabolisme dan fisiologis tubuh.
Perubahan fisiologis yang terjadi selama kehamilan akan mempengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang digunakan oleh ibu hamil.
Salah satu contoh perubahan farmakokinetik pada ibu hamil yaitu adanya peningkatan volume plasma dan cairan sampai dengan 50%, curah jantung serta laju filtrasi glomerulus, sehingga obat yang diberikan dalam volume kecil kadarnya akan rendah ditubuh.
Pada ibu hamil juga mengalami penurunan albumin, sehingga obat-obatan yang berikatan dengan albumin akan menjadi bebas.
Pemberian obat pada ibu hamil juga perlu diperhatikan karena ada beberapa obat yang dapat menembus plasenta sehingga obat akan sampai ke fetus atau janin.
Selain itu ada juga obat yang bersifat toksik, teratogen pada fetus/janin sehingga akan berbahaya bagi pertumbuhannya.
Berdasarkan tingkat keamanan obat-obatan pada ibu hamil dan janin, FDA (United States Food and Drug Administration) (2008) mengklasifikasikan obat menjadi 5 kategori yaitu kategori A, B, C, D, dan X,
Tabel 5.1 Kategori Keamanan Obat Ibu Hamil Menurut FDA
Kategori | Deskripsi Singkat | Definisi Menurut FDA | Kesimpulan |
A | Terbukti tidak beresiko pada manusia | Studi pada wanita hamil belum menunjukkan bahwa meningkatkan risiko kelainan pada janin jika diberikan selama trimester pertama, kedua, dan ketiga
|
Aman dikonsumsi ibu hamil dan janin |
B | Tidak ada bukti dapat beresiko pada manusia | Penelitian pada hewan uji tidak menunjukkan adanya resiko pada janin dan tidak ada penelitian yang memadai dan terkontrol dengan baik ataupenelitian pada hewan uji menunjukkan adanya efek samping namun pada Wanita hamil tidak menunjukkan resiko kelainan pada janin
|
Cukup aman dikonsumsi oleh ibu hamil dan janin |
C | Resiko pada manusia tidak dapat dihindari | Penelitian pada hewan uji tidak menunjukkan adanya resiko pada janin dan tidak ada penelitian yang memadai dan terkontrol dengan baik namum tidak ada penelitian yang memadai dan terkontrol dengan baik pada Wanita hamil | Jika dikonsumsi, obat dapat beresiko untuk ibu hamil dan janin. Penggunaan sesuai instruksi dari dokter |
D | Resiko pada manusia telah terbukti secara ilmiah | Penelitian memadai dan terkontrol dengan baik pada wanita hamil telah menunjukkan adanya resiko pada janin. Namun, manfaat terapi mungkin lebih besar dari pada potensi resikonya. | Jika dikonsumsi akan beresiko pada ibu hamil dan janin. Digunakan hanya pada saat darurat dan harus dalam pengawasan dokter |
X | Kontraindikasi pada ibu hamil | Penelitian ini menunjukkan adanya kelainan janin pada hewan coba dan mannusia. Pengggunaan obat ini dikontraindikasikan pada ibu hamil atau wanita yang merencanakan kehamilan | Tidak disarankan untuk ibu hamil karena dapat membahayakan janin. |
Pengobatan Swamedikasi untuk ibu Hamil, tidak hanya memperhatikan terkait penggunaan obat bebas, namun juga memperhatikan penggunaan obat keras yang perlu dihindari selama kehamilan.
Kecuali bila secara klinis dokter memutuskan pemberian obat memiliki benefit yang lebih tinggi dibandingkan risiko.
Berikut ini contoh beberapa obat yang perlu diperhatikan khusus selama kehamillan, yaitu;
- Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)
Obat ini bekerja menghambat sintesa prostaglandin sehingga memungkinkan akan terjadi gangguan kehamilan pada trisemester ketiga.
Akibat yang mungkin ditimbulkan yaitu persalinan lama, selain itu dapat menyebabkan berkurangnya jumlah cairan ketuban.
Aspirin atau asam salisilat lainnya dapat beresiko menyebabkan pendarahan pada ibu maupun janinnya.
Aspirin atau asam salisilat lainnya dapat menyebabkan peningkatan kadar bilirubin dalam darah janin sehingga terjadinya jaundice (sakit kuning) dan terkadang menyebabkan kerusakan pada otak bayi.
2. Antiemetik
Siclizin dan Meclizin, pada hewan uji dapat menimbulkan abnormalitas janin tetapi pada manusia belum terbukti, meskipun demikian sebaiknya dihindarkan dan diusahakan terapi non farmakologi.
3. Antibiotik
Penisillin/β-laktam merupakan obat yang relatif paling aman (termasuk amoksisilin, sefalosporin).
Tetrasiklin bisa melewati plasenta dan disimpan di dalam tulang serta gigi janin, bercampur dengan kalsium, akibatnya pertumbuhan tulang menjadi lambat, gigi bayi berwarna kuning dan email gigi menjadi lunak serta menjadi rentan terhadap karies.
Resiko terbesar terjadinya kelainan gigi terjadi jika tetrasiklin diminum pada pertengahan sampai akhir kehamilan.
Aminoglikosida (Streptomisin dan Kanamisin) menyebabkan gangguan pendengaran pada telinga bagian tengah janin dan kemungkinan menyebabkan ketulian.
Kloramfenikol tidak berbahaya bagi janin tetapi bisa menyebabkan penyakit yang serius pada bayi baru lahir, yaitu Grey Baby Syndrom.
Siproflosasin tidak boleh diberikan kepada ibu hamil karena bisa menyebabkan kelainan sendi pada hewan percobaan.
Kebanyakan antibiotik golongan sulfa yang diminum di akhir kehamilan bisa menyebabkan jaundicepada bayi baru lahir, yang bisa menyebabkan kerusakan pada otak bayi.
4. Obat Antikejang
Beberapa obat anti-kejang yang diminum oleh penderita epilepsi yang sedang hamil, bisa menyebabkan terjadinya celah langit-langit mulut, kelainan jantung, wajah, tengkorak, tangan dan organ perut pada bayinya.
Bayi yang dilahirkan juga bisa mengalami keterbelakangan mental.
Dua obat anti-kejang yang bisa menyebabkan cacat bawaan adalah trimetadion (resiko sebesar 70%) dan asam valproat (resiko sebesar 1%).
Carbamazepine diduga menyebabkan sejumlah cacat bawaan yang sifatnya ringan.
Bayi baru lahir yang selama dalam kandungan terpapar oleh phenitoin dan phenobarbital, bisa mudah mengalami perdarahan karena obat ini menyebabkan kekurangan vitamin K yang diperlukan dalam proses pembekuan darah.
Namun efek ini bisa dicegah bila selama 1 bulan sebelum persalinan, setiap hari ibu mengkonsumsi vitamin K atau jika segera setelah lahir diberikan suntikan vitamin K kepada bayinya.
Bila ibu hamil harus mengkonsumsi obat antikejang selama hamil, harus diberikan obat dengan dosis yang paling kecil tetapi efektif dan dipantau secara ketat.
5. Obat Antihipertensi
Obat untuk menurunkan tekanan darah seringkali diberikan kepada wanita hamil yang menderita preeklamsi atau eklamsi.
Obat ini bisa mempengaruhi fungsi plasenta dan harus digunakan secara hati-hati untuk mencegah kelainan pada janin.
Biasanya, kelainan timbul karena penurunan tekanan darah ibu berlangsung terlalu cepat dan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke plasenta.
Antagonis Kalsium (verapamil, nifedipin, diltiazem) dapat menyebabkan hipoksia fetal bila terjadi hipotensi pada ibu hamil tersebut.
Diuretik dapat mengurangi volume plasma sehingga akan menurunkan perfusi uteroplasenta.
Reserpin, tidak digunakan pada trimester 3 karena akan mengganggu termoregulasi.
Penyekat neuroadrenergik dapat menyebabkan hipotensi postural, penurunan perfusi uteroplasental (contoh : guanetedin).
ACE inhibitor, dapat meningkatkan mortalitas janin. ACE inhibitor dan thiazide biasanya tidak digunakan selama kehamilan karena bisa menyebabkan masalah yang serius pada janin.
6. Antikoagulan
Janin sangat rentan terhadap antikoagulan (obat anti pembekuan) warfarin.
Cacat bawaan terjadi pada 25% bayi yang terpapar oleh obat ini selama trimester pertama.
Selain itu, bisa terjadi perdarahan abnormal pada ibu maupun janin.
Jika seorang wanita hamil memiliki risiko membentuk bekuan darah, lebih baik diberikan heparin, tetapi pemakaian jangka panjang selama kehamilan bisa menyebabkan penurunan jumlah trombosit atau pengeroposan tulang (osteoporosis) pada ibu hamil.
7. Golongan Barbiturate dan Benzodiazepine
Golongan ini dapat mengakibatkan ketergantungan obat pada janin.
Fenitoin dapat menghambat sintesis asam folat dalam tubuh janin, sehingga janin kekurangan asam folat yang penting bagi perkembangan otak dan susunan saraf pusat.
Akibatnya terjadi kecacatan pada janin, seperti bibir sumbing, tempurung kepala tidak sempurna, cacat pada jari dan kuku kaki, kelainan jantung, dan lain-lain.
Untuk mencegah efek yang tidak diinginkan ini, maka biasanya dokter meresepkan juga asam folat untuk diminum bersama obat fenitoin.
Melihat dari benefit dan risiko pengggunaan obat obatan untuk ibu hamil, maka Apoteker memiliki peranan yang sangat vital, dalam pelayanan swamedikasi untuk keluhan yang dialami walaupun penyakit yang dikeluhkan termasuk common illnes, seperti flu, batuk dan sakit kepala.
Ketepatan dalam pemilihan obat, ketepatan dosis dan cara pemakaian serta risiko efek samping dan kontraindikasi menjadi hal penting yang perlu diperhatikan.
Intervensi non Farmakoterapi hendaknya dapat diberikan sebelum keputusan pemberian terapi.
Pada kondisi tertentu, seperti batuk dan sakit ringan yang tak kunjung sembuh setelah 3 hari, atau Apoteker melihat adanya “red flag“, maka swamedikasi sebaiknya dihindari, dan Apoteker dapat membantu pasien untuk memeriksakan ke dokter agar terapi yang diberikan aman dan tepat diagnosis.***