Makassar, IAINews – Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) kembali menggelar Simposium dalam rangkaian Rapat Kerja Nasional dan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) 2025. Forum strategis ini menghadirkan para apoteker dari seluruh Indonesia untuk memperluas wawasan keilmuan sekaligus memperkuat kontribusi dalam pengembangan ilmu farmasi.
Tahun ini, topik yang diangkat adalah “Peran Apoteker sebagai Peneliti: Studi Kualitatif dalam Desain, Pengolahan Data, dan Publikasi”. Tema tersebut dipandang krusial mengingat penelitian kualitatif masih jarang diadopsi dalam riset farmasi di Indonesia.
Sebagai pembicara utama, Prof. apt. Ivan Surya Pradipta, Ph.D., Guru Besar Farmasi Klinis dan Komunitas Penyakit Infeksi, menekankan pentingnya pemahaman serta penerapan metode penelitian kualitatif dalam dunia kefarmasian.
Menurutnya, studi kualitatif memiliki peran vital dalam menjawab pertanyaan ilmiah yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan angka. “Kualitatif bukan tentang menggantikan angka, tapi memahami makna di balik angka tersebut,” ujarnya.
Prof. Ivan mencontohkan relevansi studi kualitatif dalam menggali persepsi pasien terhadap penggunaan obat, interaksi antara apoteker dan pasien, efektivitas komunikasi antar tenaga kesehatan, hingga proses pengambilan keputusan terapeutik. Pendekatan seperti Grounded Theory, Phenomenology, dan Ethnography menjadi landasan dalam penelitian jenis ini.
Dalam sesi interaktif, Prof. Ivan juga menggelar kuiz yang menantang peserta membedakan contoh pertanyaan kualitatif dan kuantitatif. Tujuannya, melatih kepekaan kritis apoteker agar mampu merancang desain penelitian yang sesuai dengan tujuan riset.
Lebih lanjut, ia menjelaskan tahapan penting studi kualitatif mulai dari formulasi masalah, pemilihan partisipan dengan purposive atau snowball sampling, wawancara semi-terstruktur maupun focus group discussion (FGD), hingga analisis tematik dengan bantuan perangkat lunak seperti NVivo atau ATLAS.ti.
Aspek validitas dan keandalan data, lanjutnya, perlu dijaga melalui prinsip kredibilitas, konsistensi, confirmability, dan transferability. Penerapan triangulasi serta member checking menjadi kunci agar hasil penelitian mencerminkan realitas secara akurat. “Kekuatan studi kualitatif terletak pada kedalaman, bukan pada generalisasi. Namun kedalaman itu harus diperoleh dengan disiplin metodologis yang ketat,” tegas Prof. Ivan.
Dalam sesi diskusi, muncul pertanyaan seputar novelty penelitian. Menurut Prof. Ivan, kebaruan tidak harus berupa topik baru sepenuhnya, melainkan bisa muncul dari sudut pandang berbeda, konteks lokal unik, pendekatan metodologis inovatif, atau dinamika sosial yang berkembang. Bibliometrik disebut sebagai alat bantu untuk memetakan tren serta menemukan celah penelitian.
Beliau juga mendorong apoteker untuk mulai berani menulis menggunakan pendekatan kualitatif, terutama pada penelitian intervensi komunitas, edukasi pasien, maupun implementasi kebijakan farmasi publik. “Sudah saatnya apoteker Indonesia menulis, bukan hanya dalam angka, tapi juga dalam cerita berbasis data dan keilmuan,” ujarnya penuh semangat.
Moderator simposium, Prof. apt. Firzan Nainu, S.Si., M.Biomed.Sc., Ph.D., menutup kegiatan dengan harapan agar semakin banyak apoteker berani mengeksplorasi metode kualitatif. IAI optimistis bahwa pendekatan holistik melalui kombinasi kuantitatif dan kualitatif akan memperkuat posisi apoteker sebagai peneliti, praktisi, sekaligus kontributor penting dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia.