Oleh : Erie GusNellyanti
BIAYA pelayanan kesehatan terus meningkat, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kedokteran dan farmasi.
Di lain pihak, dengan semakin tingginya biaya kesehatan, di berbagai Negara semakin dituntut agar kualitas dari teknologi kesehatan juga semakin baik sebanding dengan kenaikan biayanya.
Istilah ini dikenal dengan “Value for Money”, yaitu nilai dari teknologi kesehatan tersebut sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.
Salah satu teknologi kesehatan yang mendapatkan proporsi yang besar dalam biaya pelayanan kesehatan adalah obat.
Agar masyarakat mendapatkan akses terhadap pelayanan kesehatan yang memadai dan menyeluruh dengan biaya yang terjangkau, jaminan kesehatan nasional (universal health coverage, UHC) menjadi kebijakan dari berbagai Negara, termasuk di Indonesia.
Jaminan Kesehatan Nasional (universal health coverage, UHC)
UHC merupakan jawaban atas keterbatasan masyarakat untuk membayar sendiri biaya pelayanan kesehatan (out of pocket).
Oleh karena itu, sejak tahun 2014, Indonesia telah menerapkan Jaminan Kesehatan Nasional sesuai dengan amanah Undang-undang No. 40 tahun 2009 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Namun dengan keterbatasan anggaran kesehatan yang tersedia, dibutuhkan adanya pemilihan prioritas terhadap teknologi kesehatan, terutama obat, yang digunakan dan mengalokasikan sumberdaya yang tersedia seefisien mungkin, sesuai skala prioritas yang dibuat secara obyektif.
Untuk melakukan pemilihan obat yang dapat dijamin pembiayaannya oleh pemerintah yang menerapkan sistem jaminan kesehatan, perlu dilakukan Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK) atau health technology assessment (HTA).
Salah satu aspek penilaian yang penting dalam HTA adalah ‘evaluasi ekonomi’, atau dikenal juga dengan farmakoekonomi.
Farmakoekonomi adalah bidang studi yang melakukan evaluasi perilaku atau kesejahteraan individu, perusahaan dan pasar, yang relevan dengan penggunaan produk farmasi, pelayanan, dan program.
Fokusnya terutama pada biaya (input) dan konsekuensi (outcome) dari penggunaannya.
Farmakoekonomi juga terkait dengan aspek klinis, ekonomi, dan kemanusiaan pada intervensi pelayanan kesehatan (sering digambarkan sebagai model ECHO, dalam pencegahan, diagnosa, pengobatan dan manajemen penyakit).
Farmakoekonomi juga dapat didefinisikan sebagai ilmu yang menggambarkan perbandingan antara biaya (cost) dari suatu obat dengan luaran (outcome) yang dihasilkan.
Metode yang dapat dilakukan dalam analisis farmakoekonomi adalah cost-minimization, cost-effectiveness, cost-utility, cost-benefit, cost of illness, cost-consequence dan teknik analisis ekonomi lainnya yang memberikan informasi berharga kepada pengambil keputusan pelayanan kesehatan untuk alokasi sumber daya yang terbatas.
Cost Minimization Analysis (CMA) digunakan ketika efek dari dua atau lebih intervensi (atau obat) yang dibandingkan adalah sama/ekuivalen atau hampir sama (completely/ or almost identical), dengan demikian yang dipilih adalah opsi dengan biaya terendah (the least cost option).
Cost-effectiveness analysis (CEA) digunakan untuk membandingkan biaya dan outcome dari dua atau lebih intervensi yang memiliki tujuan yang sama.
Meski lebih mahal, suatu opsi mungkin dipilih karena hasil pencapaian tujuan juga tinggi sehingga biaya per satuan outcome-nya lebih rendah atau cost-effective.
Bila outcome yang digunakan adalah perspektif konsumen (utility) maka dikenal sebagai Cost Utility Analysis (CUA).
Ilmu farmakoekonomi telah berkembang dengan pesat di berbagai negara termasuk di Asia-Pasifik.
Data farmakoekonomi semakin dibutuhkan di banyak negara, seperti Thailand, Korea Selatan, Filipina dan Taiwan, terutama sebagai bukti pendukung dalam pengambilan keputusan obat yang akan dimasukkan dalam formularium, daftar obat esensial atau untuk persetujuan obat baru.
Termasuk di Indonesia, kajian farmakoekonomi di tingkat lokal sudah dirasakan sangat dibutuhkan untuk menyediakan data pendukung dalam proses HTA dan seleksi obat Formularium.
Farmakoekonomi sangat penting dalam membantu upaya pengendalian biaya obat, terutama dalam penerapan JKN.
Dalam pemilihan obat, faktor efikasi dan keamanan (safety dan efficacy) merupakan salah satu pertimbangan yang penting, namun pertimbangan ekonomi menjadi sangat penting dalam hal keterbatasan anggaran.
Aspek pengendalian mutu sekaligus biaya obat, menjadi salah satu hal penting yang mendapatkan perhatian dalam penerapan JKN.
Kementerian Kesehatan telah menetapkan Formularium Nasional (Fornas) sebagai acuan penggunaan obat dalam JKN, yang salah satunya mempertimbangkan semua aspek tersebut (safety, efficacy, economy) dengan berbasis bukti (evidence-based medicine, EBM) dalam proses seleksi obat.
Mengingat terbatasnya studi atau analisis bidang ini di Indonesia, akan menyebabkan pengambilan keputusan didasarkan pada hasil analisis dari Negara lain.
Hal ini tidak selamanya dapat dilakukan, terutama jika hasil studi dari luar negeri tersebut tidak relevan dengan kondisi Indonesia.
Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan banyak studi farmakoekomi dan HTA untuk memenuhi kebutuhan data dalam negeri, yang sesuai dengan populasi dan pembiayaan di Indonesia.
Untuk melakukan analisis farmakoekonomi dibutuhkan dua data utama yaitu data biaya dan data klinis (outcome).
Kedua jenis data ini dapat diperoleh secara langsung dari pengumpulan data di fasilitas kesehatan atau pasien (data primer), maupun diperoleh dari studi lain yang sudah ada atau literatur (data sekunder).
Selanjutnya kedua data tersebut dianalisis dengan metode yang sesuai atau dilakukan analisis menggunakan permodelan ekonomi yang sesuai untuk mengetahui rasio dari biaya dan outcome.
Dengan demikian dapat diketahui apakah obat (atau teknologi kesehatan) tersebut memiliki outcome yang sebanding dengan biayanya (value for money).
Hasil dari analisis inilah yang diambil untuk dijadikan rekomendasi terhadap kebijakan, baik kebijakan setempat (misalnya di rumah sakit), maupun Nasional.
Mengingat besarnya kebutuhan analisis farmakoekonomi dalam pelayanan kesehatan di Indonesia, sudah selayaknya apoteker sebagai professional kesehatan yang menguasai ilmu farmasi terutama penggunaan obat, untuk juga mendalami ilmu farmakoekonomi.
Terutama bagi apoteker yang bertugas di industri farmasi, dalam hal menyajikan data farmakoekonomi bagi obat yang akan diregistrasikan di Indonesia atau akan diusulkan dalam Fornas.
Demikian pula apoteker yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan berperan penting dalam menyediakan data yang dibutuhkan dalam kajian atau analisis farmakoekonomi.
Sedangkan apoteker yang bertugas di bidang Pendidikan dan penelitian terutama dibutuhkan dalam proses analisis farmakoekonomi itu sendiri.
Walaupun saat ini sudah mulai banyak apoteker yang menyadari kebutuhan dan pentingnya ilmu farmakoekonomi dalam mendukung profesionalisme mereka, namun belum mencukupi dalam memenuhi kebutuhan data dan studi farmakoekonomi di dalam negeri.
Hal ini terlihat dari masih kurangnya dukungan bukti ilmiah berupa hasil studi farmakoekonomi dalam proses pengusulan obat Fornas.
Di lain pihak, banyaknya penelitian atau studi farmakoekonomi di perguruan tinggi farmasi ataupun kedokteran, belum sepenuhnya dimanfaatkan dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan pemerintah.
Untuk itu dibutuhkan lebih banyak lagi apoteker yang terlibat dan mendalami ilmu farmakoekonomi, sekaligus perlunya memperkuat Kerjasama antar pihak seperti pemerintah, industri farmasi, akademis dan professional kesehatan termasuk apoteker dalam memperkuat analisis farmakoekonomi dalam negeri.
Sumber :
1. Bootman J.L, et al, 2005, Principles of Pharmacoeconomics, 3rd ed, Harvey Whitney Books Company : USA
2. Drummond, M.F., M.J. Sculpher, G.W. Torrance, B.J. O’Brien, and G.L. Stoddard, 2005. Methods for the Economic Evaluation of Health Care Programmes, 3rd Edition, Oxford University Press, Oxford.***