JAKARTA, IAINews – UU Kesehatan Omnibus Law yang disahkan DPR RI, Selasa, 11 Juli lalu menimbulkan kegeraman sejumlah pihak. Salah satunya adalah pelaku industri kosmetik Indonesia.
Bila UU Kesehatan OBL mulai diberlakukan, bisa dipastikan akan menyebabkan industri kosmetik dalam negeri ini gulung tikar.
Daya saing mereka akan anjlok dan produknya tak akan mampu dibeli oleh kebanyakan rakyat Indonesia.
‘’Selama ini industri kosmetik tidak berkomentar apapun, karena sejauh ini tidak ada persoalan yang menyangkut dengan industri kosmetik yang perlu kami komentari,’’ ungkap apt Yeni Anggraini, pelaku industri kosmetik kepada IAINews melalui sambungan telepon kemarin.
Namun, ketenangan pelaku industri kosmetik tiba-tiba terusik, ketika mengetahui ada pasal tambahan menyangkut industri kosmetik di Indonesia.
‘’Kami baru tahu, pada 5 Juni bahwa ada pasal tambahan berkaitan dengan industri kosmetik ini,’’ ungkap Yeni Anggraini.
Dalam UU Kesehatan Obl yang baru disahkan tersebut, pada pasal 142 ayat 5 berbunyi ‘Bahan Baku yang digunakan dalam Sediaan Farmasi berupa Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Obat Kuasi dan Kosmetik bentuk sediaan tertentu berdasarkan kajian risiko harus memenuhi standar dan/atau persyaratan mutu sebagai bahan baku farmasi’.
Dalam kaitan dengan ayat tersebut, Perkosmi (Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia) telah bersurat secara resmi kepada Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikit.
Dalam surat tersebut, Perkosmi menyampaikan keberatan atas adanya pasal tambahan tersebut.
Namun surat tersebut tak digubris, terbukti dengan tetap disahkannya, RUU Kesehatan OBL menjadi UU Kesehatan OBL.
Menurut Yeni, bila aturan menggunakan bahan baku farmasi itu diterapkan, persoalan utamanya adalah masalah ketersediaannya.
‘’Ketersediaan bahan baku kosmetik dengan standar farmasi ini juga terbatas, di Indonesia bahan baku tersebut tidak tersedia, sehingga harus impor,’’ tutur Yeni Anggraeni.
Selain masalah ketersediaan, harga juga menjadi masalah besar bagi industri kosmetik.
Menurut Yeni Anggraeni, bahan baku dengan farmasi grade harganya mencapai 3 – 5 kali harga bahan baku dengan standar personal care grade.
Kosmetik ini meliputi tidak hanya meliputi kebutuhan untuk make up dan skin care seperti bedak, alas bedak, lipstick, pelembab dan sebagainya, melainkan juga kebutuhan seperti pasta gigi, shampoo dan sabun mandi.
Belum lagi masalah pengujian dengan skala farmasi, ketersediaan laboratorium, kemampuan UMKM untuk melakukan uji sesuai ketentuan farmasi juga akan sangat mengganggu industri kosmetik dalam berproduksi.
‘’Selama ini industri kosmetik hanya memiliki laboratorium dalam skala yang sangat minor, sehingga tidak akan mampu mengadakan uji bahan baku sesuai standar farmasi,’’ tambahnya.
Dengan adanya berbagai persoalan tersebut, bisa dipastikan ke depannya akan banyak industri kosmetik yang gulung tikar.
Hal itu karena bahan baku yang sangat mahal dan harus impor, uji laboratorium yang rumit, maka harga jual pun akan melejit berkali-kali lipat.
‘’Harga pasta gigi misalnya, bisa-bisa tidak akan terjangkau lagi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Sudah bahan baku mahal, sementara produknya tidak mampu diserap pasar. Apalagi kalau bukan gulung tikar,’’ tutur Yeni Anggraeni khawatir.
Di sisi lain, selama ini pemerintah terus mendorong agar industri kosmetik melakukan ekspor.
Ekspor kosmetik Indonesia mencapai angkar 425 juta dollar AS atau setara Rp 6.6 triliun pada tahun 2021.
Nilai itu masih lebih rendah dibanding angka impor yang mencapai 630 juta dolar AS atau setara Rp 9,8 triliun.
‘’Ketentuan menggunakan bahan baku dengan standar farmasi untuk juga akan menjatuhkan daya saing industri kosmetik Indonesia di pasar global,’’ kata Yeni Anggraeni.
‘’Bagaimana mau bersaing, kita harus menggunakan bahan baku mahal, sementara negara lain masih menggunakan bahan baku yang lebih murah. Harga mahal, klaim sangat minim, karena tidak boleh klaim bisa mengobati. Jelas kita akan kalah bersaing,’’ tuturnya.
Menurut Yeni Anggraeni, hingga Maret 2023, pengusaha kosmetik tidak memiliki masalah dengan RUU Kesehatan OBL, namun baru di bulan Juni menyisip pasal mengenai bahan baku kosmetik yang harus standar farmasi.
Sejak itu Aliansi Asosiasi Kosmetik, yang beranggotakan sejumlah organisasi pengusaha kosmetik, berupaya menyampaikan masukan baik ke Kementerian Kesehatan, DPR RI mapun BPOM. Namun hasilnya nihil.
Hingga saat ini Indonesia memiliki 1.100 industri kosmetik dalam berbagai skala. Diantaranya 90 persen berskala UMKM.
Catatan tahun 2021, industri kosmetik Indonesia menyerap 75 ribu tenaga kerja langsung dan 600 ribu tenaga kerja tidak langsung.
‘’Bagaimana nasib para tenaga kerja yang bergerak di bidang industri kosmetik bila hrus gulung tikar? Bagaimana juga nasib rakyat kebanyakan dengan gaji pas-pasan, apakah mereka sanggup membeli pasta gigi dan sabun untuk menjaga kesehatan diri?,’’ papar Yeni Anggraeni.***