TABANAN, IAINews.id – Resistensi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR), yang berpotensi menyebabkan kematian lebih banyak daripada kanker, merupakan ancaman terbesar yang dihadapi dunia dalam bidang penyakit menular.
Menurut laporan WHO, angka kematian akibat AMR secara global sebesar 700.000/tahun pada tahun 2013, dan diperkirakan akan mencapai 10.000.000/tahun pada tahun 2050.
Pengeluaran ekonomi memiliki risiko total 100 miliar USD atau 66 miliar GBP.
AMR akan memiliki dampak langsung dan tidak langsung pada negara berkembang di Asia Tenggara.
Dari 14 juta kematian setiap tahun, enam juta (sekitar 40%), disebabkan oleh penyakit menular.
Penyakit menular juga bertanggung jawab atas 42% hilangnya tahun hidup karena disabilitas.
Untuk mengurangi biaya ekonomi dan kesehatan, serta untuk mengatasi AMR, diperlukan tindakan segera.
One Health Collaborating Center (OHCC) Universitas Udayana bekerja sama dengan Prodi Farmasi Universitas Bali Internasional, Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Dhyana Pura, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) PD Bali, Persatuan Ahli Mikrobiologi Klinis Indonesisa (PAMKI) Bali, dan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) PD Bali, menyelenggarakan “Pelatihan Bijak Antibiotika” untuk membantu mengatasi masalah AMR.
Pelatihan ini merupakan serangkaian kegiatan dalam pembentukan Desa Bijak Antibiotik (Sajaka), yang merupakan kolaborasi antar profesional, sebagai implementasi dari Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba 2020-2024.
Pelatihan diadakan pada Rabu, 29 Mei 2024 di Rumah Sakit Singasana Tabanan, dan dihadiri oleh 50 tenaga kesehatan, yakni dokter, apoteker, bidan, dan perawat, yang bekerja di wilayah kerja Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali.
Tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tenaga kesehatan tentang penggunaan antibiotik yang bijak dan tepat.
Diharapkan tenaga kesehatan terlatih menjadi pelaksana dalam mendukung penerapan bijak antibiotik di jejaring fasilitas kesehatan maupun di masyarakat yang menjadi cakupan wilayah kerjanya.
Koordinator OHCC, Prof. Dr. dr. Ni Nyoman Sri Budayanti, SpMK, mengatakan, “Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat mempercepat munculnya resistensi antibiotik’’.
‘’Hal ini pada akhirnya akan mengurangi efektivitas obat-obatan yang tersedia dan meningkatkan risiko infeksi, ini menjadi infeksi yang sulit diobati,” tambah Ini Nyoman Sri Budayanti.
Materi pelatihan disajikan oleh para ahli dalam bidang mikrobiologi dan kesehatan masyarakat.
“Resistensi antibiotik adalah ancaman serius yang bisa membawa kita kembali ke era sebelum antibiotik ditemukan, di mana infeksi sederhana bisa berakibat fatal,” kata dr. Wayan Gde Manik Saputra, SpMK., pakar mikrobiologi klinis dari Rumah Sakit Bali Mandara.
Pada sesi studi kasus, apt. Ida Ayu Manik Partha Sutema, M.Farm., koordinator program studi Farmasi Universitas Bali Internasional, mengatakan, “Pelatihan ini menekankan bagaimana para nakes melakukan diagnosis yang akurat dan menentukan apakah antibiotik benar-benar diperlukan atau tidak. Ini sangat penting untuk menghindari pemberian antibiotik yang tidak perlu’’.

Selain itu, pelatihan menekankan betapa pentingnya kerja sama antar profesional dalam menangani kasus AMR.
Secara terpisah, Dr. apt. IGA Rai Widowati, salah satu penggagas Sajaka mengatakan, “Apoteker adalah garda terdepan dalam memastikan bahwa antibiotik digunakan secara rasional’’.
‘’Mereka berperan penting dalam memberikan edukasi kepada pasien tentang pentingnya menghabiskan antibiotik sesuai resep dan tidak menyimpan sisa obat,” tutur IGA Rai Widowati.
Saat pelatihan berakhir, diharapkan setiap peserta dapat menjadi agent of change dalam komunitas mereka sendiri dengan mendorong penggunaan antibiotik yang bijak dan berpartisipasi dalam perjuangan global melawan AMR.
Dengan menerapkan long life learning diharapkan kesadaran tenaga kesehatan terus meningkat, sehingga AMR dapat ditekan dan pengobatan infeksi bakteri tetap efektif di masa depan.(Dr apt IGA Rai Widowati, Tim Media Nasional Humas PP IAI)***