JAMBI, IAINews- Pada akhir tahun 1950-an, dunia menyambut kehadiran sebuah “obat ajaib” bernama thalidomide.
Dipasarkan sebagai obat penenang dan pereda mual bagi ibu hamil, thalidomide dijual bebas di berbagai negara, terutama di Eropa.
Iklan-iklan menyebut thalidomide aman, tidak adiktif, bahkan “lembut seperti pelukan seorang ibu”.
Namun siapa sangka, dalam waktu kurang dari satu dekade, ribuan bayi lahir dengan kondisi cacat berat: tangan dan kaki yang tidak berkembang sempurna, telinga yang tidak terbentuk, hingga kelainan jantung dan mata.
Dunia terguncang. Obat yang seharusnya menyembuhkan justru membawa petaka besar.
Thalidomide pertama kali dikembangkan oleh perusahaan farmasi Chemie Grünenthal di Jerman Barat pada tahun 1953 dan mulai dipasarkan pada tahun 1956 dengan nama dagang Contergan.
Awalnya digunakan sebagai obat tidur dan penenang karena dianggap tidak memiliki efek samping yang signifikan.
Namun daya tariknya semakin kuat ketika diketahui dapat meredakan mual pada ibu hamil—keluhan umum di trimester pertama kehamilan.
Dalam waktu singkat, thalidomide merajai pasaran. Lebih dari 40 negara menyetujui peredarannya, dan jutaan orang mengonsumsinya.
Tak ada regulasi ketat, tak ada uji klinis pada wanita hamil. Zaman itu belum mengenal prinsip kehati-hatian seperti sekarang.
Hingga akhirnya, para dokter mulai mencatat sesuatu yang janggal. Di berbagai negara, terjadi lonjakan kelahiran bayi dengan kelainan anggota gerak, terutama phocomelia—kondisi di mana lengan atau kaki tidak berkembang sempurna. Di Jerman, Inggris, Australia, dan Jepang, kasus serupa bermunculan.
Seorang dokter Australia, William McBride, mencurigai hubungan antara thalidomide dan kelahiran bayi cacat.
Ia menulis surat ke jurnal medis The Lancet pada tahun 1961, memperingatkan bahaya obat ini.
Tak lama kemudian, dokter Jerman, Widukind Lenz, juga mengungkap hasil penelitiannya yang menguatkan kecurigaan tersebut.
Cacat yang ditimbulkan oleh thalidomide
- Tidak adanya anggota gerak atas dan bawah secara bilateral.(Amelia totalis)
- Tidak adanya lengan dan lengan bawah (Phocomelia)
- Tidak adanya ibu jari, pemendekan ujung distal radius, angulasi tulang radius, yaitu tangan pengkor radial
- Adanya beberapa jari (polidaktili) dan Fusi jari-jari digital (Sindaktilil)
Akhirnya, thalidomide ditarik dari pasaran pada akhir 1961. Tapi semuanya sudah terlambat.
Diperkirakan lebih dari 10.000 bayi di seluruh dunia menjadi korban. Banyak yang meninggal saat lahir, sebagian lain harus hidup dengan keterbatasan fisik seumur hidup.
Tragedi thalidomide menjadi titik balik dalam sejarah regulasi obat. Sebelumnya, uji klinis belum diwajibkan secara ketat, dan pengawasan efek samping obat nyaris tidak ada.
Setelah kejadian ini, negara-negara mulai menerapkan standar baru dalam persetujuan obat.
Amerika Serikat nyaris mengalami tragedi serupa, namun diselamatkan oleh keberanian seorang wanita: Frances Kelsey, dokter dan ilmuwan di FDA (Badan POM AS).
Ia menolak menyetujui thalidomide untuk masuk pasar AS karena belum cukup bukti keamanannya. Keputusannya itu membuat ribuan bayi di Amerika terlindungi.
Tragedi ini juga melahirkan konsep penting dalam dunia farmasi: farmakovigilans, yakni ilmu untuk memantau, mendeteksi, dan mengevaluasi efek samping obat.
Sejak saat itu, pelaporan efek samping menjadi bagian penting dalam sistem kesehatan di seluruh dunia.
Menariknya, setelah beberapa dekade, thalidomide kembali diteliti. Dengan dosis yang diawasi ketat dan indikasi terbatas, obat ini ternyata bermanfaat untuk mengobati penyakit tertentu seperti lepra dan multiple myeloma (kanker darah).
Namun penggunaannya diawasi ketat dengan peringatan keras mengenai potensi cacat lahir.
Thalidomide kini menjadi simbol paradoks dalam dunia medis: obat yang bisa menyelamatkan nyawa, tapi juga pernah menghancurkannya.
Kisahnya menjadi pengingat bahwa setiap obat memiliki dua sisi—manfaat dan risiko.
Sebagai masyarakat, kita harus sadar bahwa obat bukan barang sembarangan. Jangan mudah percaya pada promosi tanpa dasar ilmiah. Jangan mengonsumsi obat tanpa resep, apalagi saat hamil.
Laporan efek samping sekecil apa pun harus disampaikan kepada tenaga kesehatan. Karena satu laporan bisa menyelamatkan banyak orang.
Kita juga harus lebih menghargai peran apoteker, dokter, dan regulator yang bekerja di balik layar demi keselamatan publik.
Thalidomide memang kisah kelam. Tapi dari gelapnya tragedi ini, dunia medis belajar untuk lebih berhati-hati. Karena setiap nyawa—terutama bayi yang belum lahir—terlalu berharga untuk menjadi korban kesalahan yang bisa dicegah.***