LAMPUNG, IAINews – Prof. Dr. apt. Nurkhasanah, M.Si, pakar halal dari Ahmad Dahlan Halal Centre, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, memaparkan berbagai tantangan dan peluang dalam penerapan sistem jaminan produk halal pada webinar yang diadakan oleh jadipraktisi.com pada Minggu, 11 Agustus 2024.
Webinar ini dihadiri oleh berbagai kalangan yang terdiri dari pelaku usaha, akademisi, mahasiswa dan pemangku kepentingan lainnya.
Dalam pemaparannya, Prof. Nurkhasanah menjelaskan bahwa Islam merupakan agama terbesar kedua di dunia.
Indonesia sendiri merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, yaitu lebih dari 87,18% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 237.641.326 jiwa.
Sehingga permintaan pasar terhadap produk-produk Islam juga sangat besar.
Secara umum, permintaan pasar terhadap produk Islam, berdasarkan data State of the Global Islamic Economy (SGIE) Report tahun 2023, Malaysia menduduki ranking pertama, kemudian Saudi Arabia menjadi terbesar ke-2 dan Indonesia menduduki peringkat ke-3.
Sedangkan berdasarkan trade opportunity ranking, Indonesia merupakan Importir terbesar ke-4 dari produk-produk halal setelah Turki, Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab. Tetapi Negara eksportir terbesar adalah China, India, Brazil, US dan Turki.
Kenapa kita harus memiliki Jaminan Produk Halal?
‘’Untuk menjamin setiap agama menjalankan ibadah dan agamanya sesuai dengan UUD R1 1945, dan Indonesia merupakan negara Islam terbesar di dunia, maka negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan produk halal yang dikonsumsi dan digunakan Masyarakat,’’ ungkap Prof apt Nurkhasanah.
‘’Karena bagi masyarakat muslim, mengonsumi produk halal merupakan bagian dari ibadah,’’ lanjut Prof. apt. Nurkhasanah yang merupakan Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Yogyakarta ini.
‘’Produk yang beredar di Indonesia belum semua terjamin kehalalannya, sehingga ditetapkan UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal,’’ jelas Prof apt Nurkhasanah.
‘’Pada pasal 1 dijelaskan tentang definisi produk, kemudian pada pasal 4 menyebutkan bahwa Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal,’’ lanjut Prof. apt. Nurkhasanah.
Pada pasal 26 ayat 1, disebutkan bahwa pelaku usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20 dikecualikan dari mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
Kemudian dilanjutkan pada ayat 2 bahwa pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada Produk.
Sehingga apabila suatu perusahaan memproduksi produk yang tidak halal, maka wajib mencantumkan keterangan tidak halal.
Kewajiban bersertifikat halal terbagi atas barang dan jasa. Barang yang dimaksud terdiri dari makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, biologi, rekayasa genetika dan barang gunaan yang dipakai atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sedangkan yang termasuk jasa adalah penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan dan penyajian.
‘’Didalam implementasinya, meskipun Indonesia memiliki UU tentang Jaminan Produk Halal sejak 2014, tetapi secara efektif baru mulai diterapkan tahun 2019 dengan mengeluarkan PMA No 26 tahun 2019,’’ kata Prof. apt. Nurkhasanah, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan.
‘’Pemerintah menyatakan bahwa produk makanan dan minuman mulai dari Oktober 2019 dan diberikan batas waktu 5 tahun sampai Oktober 2024, semua makanan dan minuman harus sudah bersertifikasi halal,’’ ungkap Prof apt Nurkhasanah.
‘’Padahal usaha mikro makanan-minuman di Indonesia ada sekitar 50 juta lebih. Sedangkan (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) BPJPH terkadang hanya memberikan kuota 1 tahun hanya 1 juta sertifikasi halal untuk usaha mikro makanan-minuman,’’ papar Prof apt Nurkhasanah kemudian.
‘’Sehingga membutuhkan usaha yang luar biasa dan sulit untuk tercapai,’’ lanjut Prof. apt. Nurkhasanah, salah satu pendamping proses produk halal (P3H).
Untuk produk non-makanan dan minuman seperti obat, produk biologi termasuk vaksin, alat kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) wajib halal dimulai sejak Oktober 2021 dan diberikan waktu yang bervariasi dan diatur dalam peraturan presiden.
Webinar ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam bagi peserta mengenai pentingnya sistem jaminan produk halal.
Peluang untuk mengembangkan industri halal di Indonesia sangat besar, meskipun implementasi sistem ini masih menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya pemahaman mengenai regulasi, kesulitan dalam mendapatkan sertifikasi halal, dan tingginya biaya sertifikasi.
Harapannya pemerintah dapat memberikan dukungan yang lebih besar dalam pengembangan industri halal, termasuk penyederhanaan prosedur sertifikasi dan pemberian insentif bagi pelaku usaha.***