Informasi
Hubungi Redaksi IAINews melalui email : humas@iainews.net
Floating Left Ads
Floating Right Ads
banner 950x90

Mungkinkah Mengintegrasikan Pengobatan Tradisional ke Dalam Pengobatan Konvensional di Indonesia?

Kunyit
Kunyit (Curcuma domestica Vall)
banner 120x600
banner 468x60

Oleh : apt Meutia Faradilla (Tim Media Nasional, PD IAI Aceh)

Sejarah Penggunaan Obat Tradisional di Indonesia

Iklan ×

Penggunaan tanaman untuk tujuan pengobatan di Indonesia telah ada sejak zaman prasejarah, yang terbukti melalui berbagai perkakas batu di zaman neolitikum.

Kunyit
Kunyit (Curcuma domestica Vall)

Bukti lainnya terdapat pada relief candi Borobudur (800-900M) di mana relief menunjukkan proses menumbuk tanaman obat untuk membuat campuran tertentu.

Pengobatan tradisional di Indonesia sudah terekam dalam catatan-catatan kuno seperti pada Serat Primbon Reracikan Jampi Jawi atau pada naskah Serat Centhini.

Bukti penggunaan obat tradisional tertulis lainnya terdapat pada buku Usada atau Buku Penyembuhan, yang merupakan sekumpulan teks yang berhubungan dengan praktik penyembuhan.

Di awal tahun 1900-an, seorang perempuan Belanda yang tinggal di Semarang, Nyonya Jans Kloppenburh-Versteegh menulis buku De Platen-Atlas (The Pictorial Atlas) dan Indische en haar Geneeskracht (Indigeneus Plants and Their Healing Powers).

Nyonya Jans mengumpulkan dan menguji ratusan obat herbal sebelum ia bukukan.

Pasca kemerdekaan, pengobatan tradisional menjadi lebih populer di ndonesia karena terbatasnya stok obat konvensinal.

Sejak saat itu minat pada pengobatan tradisional semakin meningkat.

Pada tahun 1980 pemerintah mendirikan 8 pusat pengujian obat herbal yang tersebar di Pulau Jawa, Sulawesi, Sumatra, dan Bali.

Masih pada periode yang sama, Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor Unversitas Gadjah Mada (UGM) saat itu, mendirikan Research Center for Traditional Medicine di UGM.

Pusat penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi obat tradisional, memproduksi batch eksperimental, melatih staf teknis jamu, dan mengembangkan bahan baku.

Obat Tradisional di Masa Modern

Berdasarkan Laporan Riset Kesehatan Dasar 2018, sebanyak 31,4% penduduk Indonesia memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional yang berupa obat herbal atau pelayanan keterampilan manual oleh penyehat tradisional.

Sementara itu, dari hasil penelitian berdasarkan survei di Indonesia yang dilakukan pada tahun 2023, didapatkan bahwa sekitar 45% responden menggunakan obat tradisional secara teratur.

Menurut definisi dari WHO pengobatan tradisional adalah sekumpulan pengetahuan, praktik, dan kepercayaan yang diadopsi dan diserap oleh berbagai kebudayaan yang digunakan untuk keperluan peningkatan kesehatan dengan cara pencegahan, diagnosis, dan pengobatan baik penyakit fisik maupun jiwa.

Sementara pengobatan komplementer atau pengobatan alternatif merujuk pada praktik pelayanan kesehatan yang tidak termasuk ke dalam tradisi pengobatan suatu negara atau pengobatan konvensional dan tidak terintegrasi ke dalam sistem pelayanan kesehatan yang dominan dimiliki oleh negara tersebut.

Kedua istilah ini kadang digunakan secara bergantian di beberapa negara.

Baca Juga  Mengapa Resistensi Antibiotik Bisa Terjadi?

Dalam dokumen WHO Traditional Medicine Strategy 2014-2023   dituliskan bahwa alasan masyarakat menggunakan pengobatan tradisional adalah karena hal itu merupakan bentuk layanan kesehatan yang begitu dekat dengan masyarakat, mudah diakses, dan terjangkau.

Keterjangkauan pengobatan tradisional membuat layanan ini menjadi sangat menarik bagi masyarakat.

Sementara berdasarkan penelitian di Afrika, yang masyarakatnya juga banyak menggunakan pengobatan tradisional, beberapa alasan yang terungkap selain yang sudah diungkapkan di atas adalah karena penyehat tradisional memiliki relasi yang lebih dekat dan personal dengan pasiennya.

Penyehat tradisional memiliki kemampuan berinteraksi dan empati yang membuat pasien merasa didengar dan diperhatikan.

Dalam proses pengobatan pasien memiliki agensi untuk turut berdiskusi tentang pengobatan yang didapatkan.

Hal ini kurang dirasakan ketika pasien mengakses pengobatan konvensional ke dokter atau tenaga kesehatan lainnya.

Selain itu, anggapan bahwa obat tradisional lebih aman dengan efek samping minimal juga masih melekat di benak masyarakat.

Terlepas dari kontroversi pengobatan tradisional yang dianggap tidak ilmiah, WHO berusaha menjembatani praktik-praktik pengobatan tradisional dengan pengobatan konvensional.

Upaya ini dimulai dari tahun 1960an ketika masalah penyakit malaria tak kunjung bisa diselesaikan.

Usulan untuk melibatkan penyehat tradisional kemudian diadopsi dan ternyata memberikan dampak positif dalam upaya eradikasi malaria.

Pada tahun 1977 WHO mengeluarkan resolusi yang mendorong pemerintah negara anggotanya untuk melibatkan penyehat tradisional dalam pelayanan kesehatan primer.

Pada Pertemuan Kesehatan Dunia di tahun 1978, WHO mendorong negara anggota untuk melakukan penelitian terhadap tanaman obat.

WHO juga meminta negara anggotanya menyusun langkah-langkah untuk membuat metode dan kriteria yang menjamin bukti dan keamanan penggunaan tanaman obat dalam pelayanan kesehatan.

Dalam misinya untuk menyelamatkan kehidupan dan meningkatkan kesehatan, WHO mendorong pengobatan tradisional dengan memfasilitasi integrasinya dengan sistem kesehatan nasional.

WHO mengeluarkan dokumen tatalaksana untuk pengembangan dan standardisasi pengobatan tradisional termasuk dalam petunjuk teknis dan metodologi untuk penelitian, serta advokasi penggunaan pengobatan tradisional yang rasional melalui promosi penggunaan yang berdasarkan bukti.

Meskipun WHO sudah berupaya untuk mendorong integrasi antara pengobatan tradisional dengan pengobatan konvensional, namun hingga hari ini tidak banyak negara yang berhasil melakukannya.

Dari seluruh negara anggotanya, hanya 79 negara yang sudah memiliki program nasional tentang pengobatan tradisional dan komplementer.

Indonesia sendiri telah melakukan upaya integrasi dengan menerbitkan beberapa dokumen tentang obat bahan alam seperti Farmakope Herbal Indonesia, Formularium Obat Herbal Asli Indonesia, Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik, Peraturan Persyaratan Keamanan dan Mutu Obat Bahan Alam, Peraturan Uji Farmakodinamik Bahan Alam, dan Peraturan Registrasi Obat Tradisional.

Baca Juga  Meriahkan HKN Ke-60: HIMASTRA PD IAI SULSEL Gelar Penyuluhan Tanaman Obat Keluarga dan Akupresur di Gowa

Namun, terlepas dari upaya yang telah dilakukan, integrasi pengobatan tradisional dan pengobatan konvensional masih belum dapat dilakukan secara utuh.

Masih terdapat masalah yang harus dibenahi, seperti keraguan para tenaga medis untuk menggunakan obat tradisional.

Masalah dalam Penggunaan Obat Tradisional oleh Tenaga Medis

Keraguan tenaga medis untuk menggunakan obat tradisional sebenarnya bukan tanpa alasan.

Terdapat beberapa masalah dalam penggunaan obat yang berasal dari bahan alam.

Pertama, dari sisi efikasi atau kemanfaatan. Data uji farmakodinamik, yang memeriksa aktivitas suatu obat bahan alam kebanyakan baru hasil uji pada hewan (uji praklinik) dengan jumlah sampel terbatas.

Sementara untuk data uji aktivitas obat pada manusia (uji klinik) masih sangat terbatas.

Dalam konteks Indonesia, hingga tahun 2023 produk obat bahan alam yang sudah melalui uji aktivitas ada 81 Obat Herbal Terstandar (uji praklinik) dan 22 Fitofarmaka (uji Klinik).

Kedua, informasi mengenai efek samping (side effect) dan efek yang tidak diinginkan (adverse effect) baik dari tanaman obat atau produk obat bahan alam masih terbatas.

Terbatasnya informasi ini semakin meningkatkan keraguan tenaga medis untuk meresepkan obat bahan alam yang sudah teregistrasi dan beredar.

Ketiga, kecuali pada Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka, ada potensi pengoplosan obat bahan alam dengan obat konvensional.

Kejadian ini sering ditemukan pada produk jamu sehingga Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) harus terus memastikan bahwa obat bahan alam yang beredar aman dari tambahan obat konvensional.

Keempat, dalam proses pembuatan sediaan obat bahan alam, terdapat tantangan untuk menjamin kebenaran identitas bahan alam yang digunakan.

Ada beberapa tanaman obat yang memiliki kemiripan morfologi sehingga bisa ditukar dalam sediaan obat bahan alam, dan ini menjadi kekhawatiran tentang integritas produsen dari obat bahan alam tersebut.

Kelima, beberapa sediaan obat bahan alam menggunakan beberapa campuran tanaman sekaligus, terutama untuk jamu.

Campuran ini belum diteliti keamanannya, aktivitasnya, dan potensi kemunculan efek samping atau efek yang tidak diinginkan.

Hal ini semakin menyulitkan bila terjadi kasus yang merugikan pasien.

Keenam, masalah konsistensi ketersediaan bahan baku dalam sediaan obat bahan alam.

Bila bahan baku tidak berasal dari kebun atau tumbuh liar, maka pengaruh kondisi tumbuh tanaman akan mempengaruhi kandungan senyawa dalam tanaman tersebut dan akan berdampak pada aktivitas atau efikasi obat.

Baca Juga  Kesenjangan Pendidikan Farmasi di Indonesia

Sehingga sebenarnya perlu standardisasi yang lebih ketat untuk produk obat bahan alam.

Masalah lain yang juga dikhawatirkan dari penggunaan obat bahan alam bersama dengan obat konvensional adalah interaksi obat yang mungkin muncul dari penggunaan bersama.

Penelitian tentang interaksi obat akibat penggunaan kedua jenis obat tersebut secara bersamaan masih sangat sedikit, sementara tidak mungkin hanya mengandalkan obat bahan alam saja dalam pengobatan suatu penyakit.

Begitu juga dengan keamanan dan toksisitas dari obat bahan alam bila digunakan dalam jangka panjang.

Berdasarkan hasil survey, kebanyakan masyarakat menggunakan obat tradisional untuk mengobati penyakit kronis.

Kita mengetahui bahwa penyakit kronis harus diobati dalam jangka waktu yang lama, bahkan mungkin seumur hidup.

Sementara uji keamanan dan toksisitas untuk obat bahan alam untuk jangka waktu panjang masih dilakukan secara terbatas.

Langkah Integrasi Pengobatan Tradisional dengan Pengobatan Konvensional

Terlepas dari berbagai masalah yang telah disebutkan, sebenarnya baik pembuat regulasi dan akademisi bisa melihatnya sebagai tantangan untuk terus mensaintifikasi obat bahan alam.

Sebenarnya Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mendukung pengembangan dan kemandirian obat bahan alam.

Berbagai peraturan dan standar telah diterbitkan yang menjadi acuan bagi pengembangan obat bahan alam lebih lanjut.

Para akademisi di Indonesia juga terus melakukan berbagai penelitian yang tidak hanya berupa uji aktivitas tanaman obat, tapi juga metode ekstraksi hingga upaya kultur jaringan untuk mendapatkan senyawa aktif.

Pihak industri pun terus berkembang dan menangkap peluang produksi sediaan obat bahan alam ini.

Namun, perlu dilakukan upaya yang lebih terarah dan sistematis bila Indonesia benar-benar ingin mengintegrasikan penggunaan obat tradisional dan bahan alam.

Belajar dari negara-negara di Afrika, terdapat beberapa strategi integrasi yang dapat dilakukan.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah melalui integrasi materi pengobatan tradisional di pendidikan tinggi kesehatan.

Langkah lainnya adalah dengan membuat pelatihan-pelatihan pada penyehat tradisional dan dukungan bagi mereka untuk berbagi informasi tentang pengetahuan yang dimiliki.

Selanjutnya penguatan kerja sama antara akademisi dan industri dalam penelitian-penelitian obat bahan alam.

Pemerintah bersama akademisi dan tenaga kesehatan juga harus terus melakukan upaya edukasi kepada masyarakat awam tentang penggunaan obat bahan alam yang benar dan aman.

Inisiasi dan penguatan kerja sama antara tenaga medis modern dengan penyehat tradisional juga harus dibangun dan dijaga untuk menjamin integrasi kedua sistem pengobatan yang lebih baik.***

 

 

 

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

banner 950x90