“JIKA dahulu sebagian masyarakat percaya akan mitos, maka sekarang di era informasi digital, mitos tersebut seolah olah kalah bersaing dengan berita hoax. Demikian pula terjadi pada dunia kesehatan, selain mitos mitos yang tak kunjung usang, hoax pun kian melanda’’.
Merujuk Oxford English dictionary, ‘hoax’ didefinisikan sebagai ‘malicious deception’ atau ‘kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat’. Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘hoaks’ adalah ‘berita bohong’, dimana berita hoax diterbitkan untuk membuat masyarakat percaya pada sebuah informasi, padahal kebenaran aslinya tak dapat dipertanggungjawabkan.
Bahkan, seiring berjalannya waktu, teknologi yang hadir di dunia terus berkembang pesat. Sayangnya, kemajuan teknologi tersebut terkadang menimbulkan potensi diproduksinya konten-konten berisi informasi kesehatan yang belum tentu bisa dipastikan kebenarannya, karena semata-mata hasil rekayasa kecerdasan buatan atau Artificial Intelligent (AI).
Kapan terakhir kali anda menerima pesan berantai yang isinya berupa info seputar dunia kesehatan dan kemungkinan besar info itu terkategorikan hoax di salah satu grup media sosial?
Bisa jadi pesan itu barusan anda terima, lalu serta merta dengan sekali klik, pesan tersebut kembali terkirim ke grup yang berbeda, melalui jemari anda!
Besar harapan, pesan tersebut anda baca baik baik, isinya ditelaah, jika meragukan, maka akan diabaikan selayaknya “fake news”.
Kurang Informasi, Korban Hoax
Sederhananya, pola penyebaran berita hoax kesehatan biasanya dilakukan secara tidak sengaja. Masyarakat yang kurang informasi mengenai hal terkait, karena merasa informasi tersebut bermanfaat, penting lagi mendesak, maka harus segera diberitahukan kepada orang lain.
Dalam konteks ini, sebenarnya masyarakat yang terlanjur menyebar beragam info hoax, sama sekali tak punya niatan jahat ketika menyebarkan berita tersebut. Murni atas kepanikan dan perasaan emosional belaka. Kecenderungan ini lebih disebabkan karena berita tersebut dikemas provokatif, menggunakan kata serta kalimat bernada emosional dan dapat menimbulkan kecemasan.
Maka tak ayal, salah satu hoax terbanyak yang beredar di tengah tengah masyarakat adalah hoax seputar dunia kesehatan.
Variant lain dari hoax kesehatan adalah iklan sejumlah produk kesehatan yang begitu bombastis. Jenis iklan kesehatan yang patut di duga hoax adalah jenis iklan yang bersifat superlatif (tingkat perbandingan teratas dengan kata yang menyatakan paling), serta disampaikan secara berlebihan.
Disebutkan bahwa satu produk tersebut diklaim dapat menyembuhkan segala macam jenis penyakit, disertai sejumlah testimoni dari pengguna termasuk menghadirkan salah satu sosok dengan latar belakang profesi tertentu selaku endorser.
Dengan tingkat paparan sangat tinggi (terutama melalui media massa dan media sosial), iklan hoax kesehatan ini dikhawatirkan dapat menimbulkan “Halo Effect”, yakni penilaian sepintas terhadap suatu produk hanya dengan melihat iklan atau kemasan, tanpa disertai bukti ilmiah, dan bisa jadi produk tersebut justru malah tidak memiliki khasiat spesifik apa pun.
Perkaya Literasi
Perkara kurangnya informasi sejatinya dapat diatasi dengan membangun budaya literasi. Semakin kuat budaya literasi, nalar masyarakat akan semakin kuat pula. Karena dengan kemampuan menalar yang baik inilah, masyarakat dapat berpikir secara jernih dan kritis dalam memandang setiap perkara.
Memperkaya diri dengan literasi, akan menjadi filter efektif. Selain sebagai penangkal hoax di tengah era digital yang kebanjiran informasi, budaya literasi juga akan berkonstribusi positif pada bertambahnya wawasan, pengetahuan, dan cakrawala berpikir serta sikap yang lebih hati hati dalam meng”aamiin”kan sebuah informasi.***