Site icon IAI NEWS

Mengasah Empati Apoteker

Mengasah Empati Apoteker

“Hadiah terbesar dari manusia adalah kita memiliki kekuatan empati.” — Meryl Streep

“Ada yang tahu apa bedanya simpati dengan empati?” tanya seorang dosen ketika hendak memulai perkuliahan.

Seisi kelas terdiam. Beberapa mahasiswa tampak berpikir, ada pula yang penasaran dengan jawaban sang dosen.

“Sederhananya, simpati itu ketika kita bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain,” kata sang dosen.

“Kalau empati, Bu?” tanya seorang mahasiswa dengan penuh rasa ingin tahu.

“Empati itu simpati yang dilakukan disertai dengan tindakan, atau simpati yang lebih mendalam,” jawab sang dosen.

Seorang apoteker ketika berpraktik harus memiliki simpati, bahkan sampai pada tingkat empati terhadap pasien. Apoteker tidak cukup hanya merasakan apa yang dirasakan pasien, tetapi juga perlu memiliki pemahaman yang mendalam serta mampu merasakan langsung emosi pasien.

Dengan empati, apoteker akan lebih mudah dalam menjelaskan informasi obat yang akan diberikan, serta dapat menyampaikan edukasi tentang obat secara lebih jelas. Pasien pun akan merasa lebih bahagia karena merasa dipahami dan didengarkan.

Ketika pasien bercerita, apoteker perlu dengan seksama mendengarkan dan memperhatikan apa yang dikeluhkan. Tidak sekadar mendengar, tetapi mendengarkan dengan rasa, yaitu hadir dalam emosi yang sama seperti yang dirasakan pasien.

Selanjutnya, apoteker memberikan dukungan moral dan emosional, agar pasien dapat rutin dan patuh dalam meminum obat.

Dukungan ini sangat penting, terutama bagi pasien yang harus menjalani terapi jangka panjang. Mereka butuh support system agar tidak jenuh atau bosan menjalani pengobatan.

Dengan mengasah empati, hubungan antara apoteker dan pasien akan semakin kuat. Rasa kepercayaan pasien akan tumbuh, dan hal ini berkontribusi langsung pada tingkat kepatuhan pasien terhadap terapi yang dijalani.

Kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian pun akan meningkat, karena mereka merasa dihargai, dipahami, dan dilibatkan.

Perhatian dan kepedulian yang tulus juga menjadi cara mengasah empati apoteker kepada pasien.

Apoteker tidak hanya bertugas menyerahkan obat dan memberikan informasi, tetapi juga memahami kekhawatiran, ketakutan, dan harapan pasien terhadap kondisi kesehatannya.

Ketika apoteker mengasah empati dalam praktik sehari-hari, secara tidak langsung ia menciptakan pengalaman positif bagi pasien, membangun kepercayaan, memperkuat peran apoteker, dan berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup pasien.

Exit mobile version