Informasi
Hubungi Redaksi IAINews melalui email : humas@iainews.net
Floating Left Ads
Floating Right Ads
banner 950x90

Mari Mengenal Perbedaan Obat Sintesis dan Obat Bahan Alam

alam vs sintetis
banner 120x600
banner 468x60

DALAM perbincangan sehari-hari, masyarakat sering menyebut obat modern atau konvensional dengan sebutan obat kimia, sementara obat bahan alam disebut dengan obat herbal.

Berkaitan dengan sebutan ini, ada stigma melekat pada obat modern yaitu karena ia berasal dari bahan kimia, maka punya efek samping yang lebih berat daripada obat bahan alam. Namun, benarkah demikian?

Iklan ×

Sejarah pengobatan di dunia memang terlebih dahulu mengenal penggunaan bahan alam sebagai bahan baku untuk mengobati suatu kondisi penyakit, baik dari tumbuhan, hewan, atau mineral.

Selama ribuan tahun, masyarakat di berbagai peradaban dan kebudayaan menggunakan bahan alam dalam praktik pengobatannya.

Kita mengenal ada Traditional Chinese Medicine di Tiongkok, Ayurvedic medicine di India, dan Jamu di Indonesia.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terutama kimia organik, para kimiawan mulai mampu melakukan pembuatan senyawa dari bahan-bahan organik.

Di pertengahan hingga akhir abad ke-18, perkembangan ilmu kimia organik dan sintesis kimia organik begitu pesat hingga akhirnya pada tahun 1869, obat sintesis pertama di dunia lahir, yaitu kloralhidrat.

Pada akhir abad ke-18 juga para kimiawan dan ahli farmasi melakukan ekstraksi dan mencari zat aktif apa yang bekerja dari ekstrak tersebut.

Hingga pada tahun 1887 ditemukan struktur parasetamol, dan aspirin ditemukan pada tahun 1899.

Akhir abad ke-18 menandakan dimulainya penggunaan obat berbahan aktif tunggal yang diproduksi melalui sintesis di masyarakat yang sebelumnya menggunakan berbagai macam ramuan herbal untuk pengobatan penyakit.

Sebelum membahas lebih lanjut, untuk mempermudah ilustrasi, saya akan mempersempit definisi obat bahan alam dalam artikel ini menjadi obat yang berasal dari tumbuhan saja.

Dalam satu bagian tumbuhan yang direbus atau diekstraksi, terdapat banyak sekali komponen senyawa yang terkandung.

Baca Juga  Perang Pandan di Desa Tenganan: Tradisi Lokal dan Potensi Khasiat Farmasi yang Menarik

Bisa puluhan hingga ratusan senyawa dan tidak semuanya memiliki khasiat. Di antara yang berkhasiat tersebut, bila terdapat dalam satu rebusan, ternyata kerjanya belum tentu semua sejalan.

Nah, kandungan senyawa yang berkhasiat tadi dalam satu tumbuhan juga bervariasi, sangat tergantung dimana tumbuhan tersebut ditanam (kondisi tanah, cuaca, iklim, dan keberadaan hama) dan kapan bagian tumbuhan tersebut dipanen.

Karena kondisi yang tidak selalu seragam ini, akibatnya khasiat penggunaan obat bahan alam di masa lampau sangat bervariasi.

Ketika para ahli menemukan bahwa ada satu senyawa tertentu dari obat bahan alam yang mampu memberikan khasiat yang maksimal untuk mengatasi suatu gejala penyakit, maka para ahli mencari cara agar bisa memperoleh senyawa tersebut dalam jumlah banyak, untuk kemudian diberikan kepada pasien sesuai dengan takaran yang efektif dan aman.

Sayangnya, ternyata untuk mendapatkan satu komponen senyawa tersebut, perlu luas tanah yang cukup besar untuk menanam tumbuhan penghasil senyawa. Sehingga cara tersebut dirasa tidak efektif dan efisien.

Karena perkembangan ilmu sintesis organik cukup pesat dan memungkinkan untuk dilakukannya sintesis senyawa yang berasal dari bahan alam, maka para ilmuwan mulai melakukan sintesis terhadap komponen aktif yang memiliki khasiat tersebut.

Proses pembuatan komponen aktif obat berkhasiat secara sintetis ini tidak membutuhkan modal yang besar, dan dapat dilakukan dalam jumlah banyak sehingga lebih mudah dalam proses pembuatan obat serta pendistribusiannya.

Tentu saja ini menjadi faktor pertimbangan penting bagi pengusaha dan industri farmasi sejak awal abad ke-19.

Dari sisi farmasi, komponen obat tunggal dari proses sintesis ini membuat proses terapi bisa distandardisasi dengan baik.

Misalnya jelas bahwa untuk mengobati demam pada dewasa dibutuhkan asetilsalisilat dengan dosis 500 mg per sekali minum.

Baca Juga  Eksklusif: Wawancara Bersama Apt. Dra. Hj. Harmawati Kadir, M.Kes, Anggota DPRD Sulawesi Tenggara

Berbeda dengan penggunaan rebusan obat bahan alam yang pada umumnya membutuhkan dosis yang lebih besar untuk mendapatkan khasiat serupa.

Keberadaan proses sintesis senyawa obat juga kemudian memudahkan para ahli farmasi kimia untuk mengubah struktur senyawa obat untuk menghasilkan efek yang lebih baik atau mengurangi efek samping dan efek toksik dari suatu obat.

Lalu apakah benar obat bahan alam memiliki efek samping yang lebih rendah daripada obat sintesis atau malah tidak ada efek samping sama sekali? Sebenarnya tidak.

Beberapa penelitian telah menemukan bahwa pemberian obat bahan alam tertentu dapat menimbulkan efek samping mulai dari yang ringan (mual, hilang nafsu makan, rasa terbakar pada mulut, gangguan menstruasi, otot lemas) hingga efek samping yang cukup berat seperti gangguan fungsi hati dan ginjal.

Efek samping yang muncul pada penggunaan obat bahan alam ternyata tidak jauh berbeda dengan obat sintesis. Sehingga yang menjadi penekanan dalam penggunaan kedua jenis obat tersebut adalah aspek keamanannya.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah obat bahan alam tidak lebih baik dari obat sintesis?

Hingga saat ini, belum ada penelitian yang jelas menyebutkan bahwa obat bahan alam, terutama dalam bentuk rebusan atau ekstrak mampu mengungguli obat senyawa tunggal. Namun, sudah ada beberapa penelitian yang memperlihatkan bahwa kombinasi antara obat senyawa tunggal dengan obat bahan alam mampu memberikan hasil terapi yang lebih baik.

Oleh karena itu sebenarnya kita perlu menyikapi persoalan obat bahan alam dengan obat sintetis ini dengan baik.

Pertama, yang harus kita perhatikan dengan seksama adalah bagaimana aspek keamanan dari obat tersebut. Bagaimana pihak terkait menjamin bahwa baik obat bahan alam maupun obat sintetis aman dan berkhasiat untuk digunakan.

Baca Juga  Apotek Desa, Akankah Profesi Direduksi Menjadi Perdagangan?

Kedua, penggunaan obat harus dikomunikasikan dan dikonsultasikan dengan pihak yang memahami betul aspek-aspek keamanan, khasiat, dan kualitas obat, yaitu dokter dan apoteker. Dalam hal penggunaan obat bahan alam, baik tenaga medis dan tenaga kesehatan harus lebih membuka diri pada apa yang menjadi pilihan pasien.

Ketiga, para akademisi dan peneliti dapat terus mengembangkan penelitian terkait manfaat obat bahan alam, baik dalam bentuk ekstrak, fraksi, atau hingga mampu melakukan isolasi senyawa aktif berkhasiat dari bahan alam tersebut.

Pengembangan terhadap obat bahan alam bisa dilakukan dari sisi menemukan senyawa aktif berkhasiat untuk selanjutnya dilakukan sintesis untuk memperbanyak atau meningkatkan kemampuan kerjanya, atau mencari cara-cara agar produksi obat dari bahan alam bisa dilakukan tanpa memerlukan lahan yang sangat luas.

Apoteker dalam hal ini memiliki peran yang sangat luas. Mulai dari meneliti khasiat bahan alam terhadap suatu penyakit, melakukan produksi obat bahan alam sesuai dengan kaidah standar, sampai memberikan obat bahan alam kepada pasien dengan informasi yang benar dan lengkap.

Karena tujuan kita adalah satu, yaitu menjamin keamanan masyarakat dalam mengkonsumsi obat-obatan untuk membentuk masyarakat yang sehat.***

Sumber:

  1. Posadzki P, Watson LK, Ernst E. Adverse effects of herbal medicines: an overview of systematic reviews. Clin Med (Lond). 2013 Feb;13(1):7-12. doi: 10.7861/clinmedicine.13-1-7.
  2. Salm, S., Rutz, J., van den Akker, M., Blaheta, R.A., and Bachmeier, B.E. Frontiers in Pharmacology. 2023. Current state of research on the clinical benefits of herbal medicines for non-life-threatening ailments. https://doi.org/10.3389/fphar.2023.1234701
banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

banner 950x90