Informasi
Hubungi Redaksi IAINews melalui email : humas@iainews.net
Floating Left Ads
Floating Right Ads
banner 950x90

Laba Bisnis Narkoba, Besar Tapi Terlarang

(Catatan Hari Anti Narkoba Internasional 26 Juni 2025)

gras grun iCHacuW8BcI unsplash
banner 120x600
banner 468x60

BERDASARKAN fakta yang ada, Indonesia tidak lagi sebagai wilayah transit peredaran narkoba dunia, akan tetapi Indonesia telah menjadi produsen narkotika.

gras grun iCHacuW8BcI unsplash

Iklan ×

Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri bersama Direktorat Bea Cukai dan Direktorat Jenderal Imigrasi mengungkap adanya 6.881 kasus tindak pidana narkoba di Indonesia sepanjang bulan Januari dan Februari 2025.

Dari 6.881 kasus yang terungkap, Polri telah menyita 4,1 ton zat terlarang narkoba yang terdiri dari 1,28 ton sabu, 138,7 kg ekstasi, 493 kg ganja, dan 3,4 kg kokain, 1,6 ton tembakau sintetis dan 659,9 kg obat keras.

Barang bukti ini merupakan hasil dari pengungkapan 6.881 kasus penyebaran dan penggunaan narkotika yang lokasi kejadiannya tersebar di seluruh daerah di Indonesia.

Polisi juga telah menangkap 9.586 orang tersangka yang terlibat dalam tindak pidana narkoba.

Senada dengan itu, Badan Narkotika Nasional (BNN) memperkirakan potensi nilai transaksi belanja narkoba ilegal di Indonesja mencapai Rp 524 triliun per tahun.

Setidaknya, ada empat jaringan narkoba internasional yang menjadi pemasok utama ke Indonesia dengan berbagai macam modus yang berbeda, yaitu West Africa yang dikendalikan dari Nigeria, Jaringan Iran, Jaringan Cina dan Taiwan serta Jaringan Malaysia.

Bisnis yang Menggiurkan

Bagi pelaku,  bisnis narkoba  itu sangat menggiurkan. Sebagai ilustrasi, segini besaran keuntungan bisnis barang haram tersebut.

Untuk bandar besar, keuntungan yang diperoleh bisa mencapai ratusan juta rupiah. Kalkulasinya gampang, umumnya sabu-sabu masuk dari Malaysia, maupun Tiongkok.

Di luar negeri,  harga 1 Kg sabu sekitar Rp 300 juta. Kalau dijual di Indonesia bisa mencapai Rp 900 juta hingga Rp. 1 miliar.

Bila barang di pasaran sedang langka,  harga 1 kg bisa mencapai Rp 1,5 miliar. Bayangkan, modal Rp 300 juta bisa untung Rp 700 juta hingga Rp 1,2 miliar.

Baca Juga  Tren Penyalahgunaan Ketamin Meningkat, BPOM Perketat Pengawasan

Lebih lanjut, dari bandar besar kemudian sabu didistribusikan ke bandar sedang dan kecil. Bandar sedang biasanya menjual/membeli  paket sabu dalam ukuran ons.

Tiap 1 ons  sabu dijual/dibeli seharga Rp 90 juta.  Lalu paket sabu dijual dengan banderol  Rp 1,3 juta per gram (hampir setara dengan harga emas yang mencapai Rp. 1.928.000 per gram). Jadi, keuntungan bandar sedang bisnis sabu saja bisa Rp 30-40 juta per hari.

Keuntungan besar inilah yang membuat para pelaku berbuat nekat. Mereka melakukan cara apa saja untuk bisa menyelundupkan sabu dari luar negeri  untuk dijual di Indonesia.

Marak Diproduksi di Dalam Negeri

Narkotika dan psikotropika illegal tersebut sudah barang tentu tidak diproduksi oleh industri farmasi yang legal melalui proses produksi yang cermat dan memenuhi kaidah Cara Produksi Obat yang Baik, namun dibuat oleh pabrik gelap (clandestine laboratory).

Demikian halnya dengan sabu,  merupakan senyawa sintetik turunan dari amphetamine dan juga turunan dari ephedrine.

Sabu menyebabkan peningkatan secara drastis hormon dopamine, serotonin, dan noradrenaline dalam otak dan saraf.

Senyawa methamphetamine sendiri sebenarnya sudah lama digunakan oleh para dokter untuk mengobati pasien berpenyakit narcolepsy/kelainan tidur dan attention deficit hyperactive disorder.

Tetapi dalam perkembangannya, penyalahgunaan sabu meningkat secara drastis.

Kebanyakan pemakai  kokain yang beralih ke sabu oleh karena harganya yang lebih murah.

Sabu murah karena 100% sintetik dan bisa diproduksi oleh orang awam sekalipun. Adapun  efeknya  jauh lebih lama, sekitar 9-15 jam dibanding kokain yang hanya sekitar 15-20 menit.

Baca Juga  SKP Platform, Gerbang Baru bagi Tenaga Kesehatan Permudah Perpanjangan SIP

Mengingat cara pembuatannya yang mudah dipelajari dan bahan-bahan  kimia yang relatif mudah diselundupkan,  industri  sabu semakin subur.

Bahkan, keberadaan ‘industri rumahan’ jenis  sabu mulai marak di tanah air. Sabu-sabu dapat dibuat dengan beberapa bahan dasar seperti : Ephedrine, Ether, Methanol, Hydrocloric Acid, Sodium Hidroxide, Iodine, dan Red Phosporus.

Prekursor dan Bisnis Sabu

Tumbuh suburnya produksi illegal narkotika, psikotropika dan zat adiktif (napza) di Indonesia tidak terlepas dari mudahnya mendapatkan prekursor.

Prekursor merupakan bahan kimia (chemical substance) yang digunakan untuk memproduksi napza, yang berdasarkan sifatnya dikategorikan sebagai berikut : pertama, prekursor bahan baku yakni bahan dasar untuk pembuatan narkotika-psikotropika yang dengan sedikit modifikasi melalui beberapa reaksi kimia dapat menjadi narkotika atau psikotropika (prekursor bahan baku misalnya efedrin, pseudoefedrin, fenilpropanolamin/norefedrin).

Kedua, Prekursor reagensia merupakan bahan kimia pereaksi yang digunakan untuk mengubah struktur molekul prekursor bahan baku menjadi narkotika dan psikotropika.

Ketiga, pelarut (solvent) yakni bahan yang ditambahkan untuk melarutkan atau memurnikan zat yang dihasilkan.

Prekursor merupakan bahan kimia yang secara luas digunakan oleh berbagai industri baik skala besar maupun usaha skala kecil untuk berbagai keperluan seperti industri farmasi, kosmetika, makanan, tekstil, cat, termasuk pula proses vulkanisir ban.

Penggunaan prekursor dapat diumpamakan seperti pisau bermata dua. Pada satu sisi, ketersediaan prekursor untuk kepentingan industri dalam negeri harus dipenuhi untuk menjamin keberlangsungan perekonomian negara, namun disisi lain penyimpangan penggunaan prekursor oleh pelaku kejahatan guna memproduksi narkotika dan psikotropika illegal harus dicegah.

Peran Apoteker

UU No 35/2009 tentang Narkotika sejatinya telah mengatur tentang pengawasan yang ketat terhadap prekursor narkotika, yakni zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika (sintetis).

Baca Juga  Implementasi Aspek SMKI ISO 27001 dalam Aplikasi SIAp IAI

Prekursor dibedakan menjadi dua tabel. Untuk prekursor yang digunakan dalam kegiatan industri farmasi, pengawasannya ada pada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Sedangkan pengawasan prekursor yang digunakan untuk kebutuhan nonfarmasi ada pada BNN dan Bareskrim Polri.

Para pelaku tindak kejahatan narkoba telah menempuh berbagai macam cara untuk pembuatan narkotika sintetis.

Bisa jadi bahan prekursor itu diperoleh dari jalur illegal, bisa pula didapatkan dari sarana legal (seperti toko bahan kimia,  sarana pelayanan kefarmasian/apotek).

Khusus untuk prekursor yang diperoleh dari apotek, dapat berupa sediaan farmasi baik yang sudah termasuk prekursor farmasi maupun yang belum.

Tapi ini sangat jarang terjadi, dimana industri sabu tersebut menggunakan sediaan farmasi (berupa item obat tertentu) sebagai bahan baku.

Meskipun demikian, penting bagi apoteker melakukan pengawasan prekursor narkotika dan back trace (penelusuran kembali) asal muasal prekursor yang digunakan dalam pembuatan narkotika sintetis.

Dengan begitu, dapat kita ketahui sebenarnya dimana letak kebocoran prekursor sehingga bisa jatuh ketangan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Yang terpenting adalah, agar tidak terjadi diversi (penyimpangan) prekursor,  perlu adanya kerja sama serta komunikasi antar stakeholder yang berkaitan dengan prekursor dengan organisasi profesi yang menaungi apoteker, khususnya dalam pengawasan produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi.

Hal tersebut perlu dilakukan mengingat satu hal, pada hakikatnya, narkotika merupakan sediaan farmasi yang bersifat khusus sehingga penanganan dan pengawasannya juga bersifat khusus.***

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

banner 950x90