TAHUKAH kamu bahwa antibiotik yang pernah menjadi andalan di dunia medis ini kini tengah menjadi perbincangan, bukan hanya soal efek sampingnya, tapi juga status kehalalannya? Kloramfenikol—ya, nama itu mungkin sudah tak asing lagi di kalangan tenaga kesehatan dan pasien.
Pertama kali ditemukan pada tahun 1947 dari bakteri tanah Streptomyces venezuelae, antibiotik ini menjadi terobosan besar dalam pengobatan infeksi bakteri. Namun di balik sejarah gemilangnya, muncul pertanyaan baru yang tak kalah penting: bagaimana status kehalalan kloramfenikol?
Dulu, kloramfenikol diproduksi melalui proses biosintesis fermentasi—di mana bakteri ditumbuhkan dalam media yang mengandung zat gizi seperti glukosa, pati, ekstrak ragi, atau bahkan pepton dan ekstrak daging.
Nah, di sinilah titik krusialnya: bahan-bahan seperti pepton atau ekstrak daging bisa saja berasal dari hewan yang tidak halal atau tidak disembelih secara syar’i.
Belum lagi risiko penggunaan bahan penolong haram seperti arang tulang dalam pemurnian gliserol atau gula. Jadi, kalau masih menggunakan metode fermentasi ini, perlu diaudit ketat agar status halalnya jelas.
Seiring berkembangnya teknologi, produksi kloramfenikol beralih sepenuhnya ke jalur sintesis kimia.
Metode ini lebih efisien, lebih bersih, dan kabar baiknya lebih mudah diawasi kehalalannya.
Bahan bakunya seperti benzaldehida dan nitrometan berasal dari senyawa kimia non-hewani atau petrokimia, sehingga risiko keharamannya relatif rendah.
Tapi tetap ada hal yang perlu dicermati, misalnya pelarut organik atau enzim yang digunakan dalam proses sintesis, apakah bebas dari alkohol khamar? Apakah enzimnya diproduksi dari mikroba yang ditumbuhkan di media bersih dan halal?
Menariknya, isu ini tidak hanya penting untuk umat Muslim. Pasien vegan, vegetarian, penganut agama Hindu, dan lainnya juga punya perhatian serupa soal bahan-bahan turunan hewan.
Mereka ingin tahu, misalnya, apakah ada gelatin dalam kapsul atau laktosa dalam eksipien. Jadi, pertanyaan “apa isi obat saya?” menjadi semakin relevan bagi banyak orang.
Di sinilah apoteker memegang peran kunci. Dengan latar belakang keilmuan yang kuat, apoteker bisa menjelaskan dari mana asal bahan aktif obat, bagaimana proses pembuatannya, dan apa saja bahan tambahannya.
Bukan sekadar opini pribadi, melainkan penjelasan ilmiah berdasarkan data dan regulasi halal dari lembaga resmi seperti BPJPH dan SNI.
Terlepas dari keyakinan pribadi seorang apoteker, informasi tentang kehalalan obat harus tetap netral, berbasis sains, dan disampaikan dengan empati.
Pasien berhak tahu dan merasa yakin bahwa apa yang mereka konsumsi sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut.
Jadi, lain kali kamu menerima resep dari dokter, jangan ragu untuk bertanya kepada apotekermu: dari mana asal obat ini? Prosesnya seperti apa? Halal nggak, ya? Karena kenyamanan batin juga bagian dari kesembuhan.***