JAKARTA, IAINews – Kepala BPOM Taruna Ikrar tegaskan pentingnya penggunaan antimikroba secara tepat untuk mengendalikan kejadian resistansi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) di Indonesia. Hal tersebut disampaikan pada kegiatan Semarak Aksi Nyata Pengendalian Resistansi Antimikroba yang dilaksanakan di Auditorium Gedung Merah Putih BPOM beberapa waktu lalu.
Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka World AMR Awareness Week (WAAW) 2024 yang mengusung tema “Educate. Advocate. Act now”. WAAW ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) sejak tahun 2015 dan diperingati pada tanggal 18–24 November setiap tahunnya. Rangkaian kegiatan yang diselenggarakan BPOM kali ini bertujuan meningkatkan kesadaran serta membentuk perubahan pola pikir dan perilaku tenaga kesehatan, pelaku usaha, serta organisasi profesi dalam mendorong upaya nyata memerangi resistansi antimikroba.
Sejalan dengan tujuan tersebut, kegiatan hari ini menghadirkan tim pengendalian AMR dari unit pusat BPOM dan unit pelaksana teknis (UPT) BPOM. Selain itu, juga menghadirkan lintas sektor yang terkait dalam upaya pengendalian AMR di Indonesia, yaitu perwakilan dan kementerian/lembaga yang terlibat dalam Kelompok Kerja (Pokja) Pengendalian AMR di Indonesia, organisasi profesi kesehatan, gabungan perusahaan farmasi di bidang distribusi dan pelayanan kefarmasian, penanggung jawab/ pemilik sarana distribusi dan pelayanan kefarmasian. Dalam kegiatan tersebut hadir juga organisasi mitra seperti World Health Organization (WHO), Food and Agriculture Organization (FAO), dan Fleming Fund.
Taruna Ikrar dalam sambutannya menyebut bahwa AMR merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan masyarakat global dan pembangunan. Data WHO menunjukkan bahwa resistensi antimikroba secara langsung bertanggung jawab atas 1,27 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2019 dan berkontribusi terhadap 4,95 juta kematian. Beberapa penyebab munculnya AMR adalah penggunaan yang salah dan penggunaan antimikroba yang berlebih, kontaminasi lingkungan, transmisi di fasilitas kesehatan, diagnostik cepat yang tidak optimal, vaksinasi yang tidak optimal, obat substandar dan palsu, perjalanan dan administrasi obat massal untuk kesehatan manusia.
“Data hasil pengawasan BPOM menunjukkan bahwa sarana pelayanan kefarmasian (apotek) yang melakukan penyerahan antimikroba, khususnya antibiotik, tanpa resep dokter dari tahun 2021—2023 berturut-turut berjumlah 79,57%; 75,49%; dan 70,75%. Walaupun trennya menurun, namun tetap perlu kita waspadai karena rerata nasional penggunaan antibiotik tanpa resep dokter masih terbilang tinggi,” urai Taruna Ikrar.
Isu lain yang perlu menjadi perhatian adalah pola pengobatan sendiri (swamedikasi) yang tidak tepat sehingga menyebabkan adanya sisa obat yang disimpan dan akhirnya dibuang sembarangan. Di tahun 2019, BPOM telah mencanangkan program Ayo Buang Sampah Obat dengan Benar (ABSO dengan Benar) di 15 provinsi dengan melibatkan 1.000 apotek untuk mengelola sampah obat dari masyarakat. Dari program tersebut, diperoleh data bahwa antibiotik ikut menjadi salah satu sampah obat yang diterima. Fakta tersebut perlu menjadi perhatian, khususnya dikaitkan dengan ancaman AMR.
Imbas dari adanya AMR menyebabkan infeksi biasa seperti pneumonia, tuberkulosis, atau infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri resistan dapat menjadi sangat sulit atau bahkan tidak bisa diobati. “Dampaknya juga terhadap sektor ekonomi. Infeksi yang lebih lama dan lebih sulit diobati meningkatkan biaya perawatan kesehatan, termasuk biaya rumah sakit, perawatan intensif, dan obat-obatan. Selain itu, juga berdampak pada penurunan produktivitas kerja akibat meningkatnya angka kecacatan dan kematian akibat AMR,” papar Taruna Ikrar lagi.
Sejalan dengan Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RANPRA) 2020-2024 dan Rencana Aksi Nasional tahun 2025 – 2029 yang masih dalam proses penyusunan, BPOM bersama lintas sektor yang hadir pada hari ini kembali menggalang komitmen dalam memerangi resistansi antimikroba. Penggalangan komitmen ditandai dengan pengucapan bersama Ikrar Komitmen Pengendalian Antimikroba. Ikrar ini tercatat pada Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai Ikrar Terbanyak.
Hari ini diluncurkan pula Kolaborasi Program ABSO dengan Benar yang ditandai dengan penyerahan simbolis Pedoman ABSO dengan Benar kepada stakeholder, yaitu perwakilan UPT BPOM, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GP Farmasi), serta perwakilan apotek peserta baru dari program ini. Kolaborasi ini memperluas cakupan program yang sebelumnya hanya di 15 UPT BPOM menjadi seluruh wilayah Indonesia sehingga manfaat program dapat lebih dirasakan oleh masyarakat luas.
“Melalui kolaborasi ini, kami juga mendorong peran pelaku usaha untuk ikut aktif dalam upaya pencegahan resistansi antimikroba melalui skema corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial dunia usaha,” lanjut Kepala BPOM.
Rangkaian kegiatan hari ini juga menyajikan talkshow interaktif yang menghadirkan narasumber dari internal dan eksternal BPOM. Topik yang dibahas dalam talkshow adalah seputar bahaya resistansi antimikroba; upaya nyata dari regulator, praktisi, tenaga kesehatan dan pelaku usaha di bidang kesehatan; serta penyebarluasan materi edukasi tentang cara mengenali resistansi antimikroba dan cara mencegahnya.
Melalui rangkaian kegiatan Semarak Aksi Nyata Pengendalian Resistansi Antimikroba, Kepala BPOM menekankan bahwa resistansi antimikroba merupakan ancaman bersama. Ikrar yang diucapkan diharapkan dapat kembali memupuk komitmen seluruh stakeholder terkait untuk bertanggung jawab dan bekerja sama secara sinergis guna melindungi kesehatan masyarakat dan generasi mendatang dari ancaman resistansi antimikroba.
“Pembacaan ikrar AMR ini saya harap bukan hanya sekadar janji, tapi dapat menjadi pemacu kita bersama untuk meningkatkan komitmen, semangat, dan motivasi untuk secara konsisten berperan aktif dalam pengendalian AMR,” tukas Taruna Ikrar.***