JAKARTA, IAINews – Forum Penegakan Etik Lintas Perguruan Tinggi menerbitkan buku putih berkaitan dengan kasus Prof EM, Guru Besar Fakultas Farmasi UGM yang dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya.
Buku putih setebal 34 halaman terdiri dari 8 bab tersebut berjudul Kajian Budaya, Akademik, dan Yuridis terhadap Kasus EM’, diterbitkan pada 30 April 2025.
Forum Penegakan Etik Lintas Perguruan Tinggi adalah kumpulan akademisi, praktisi hukum dan pemerhati dunia penididkan tinggi yang tergabung secara independen.

Mereka berkumpul untuk mendoirong penegakan etika akademik yang berkeadilan, transparan dan menghormati hak asasi semua pihak.
Forum ini dibentuk sebagai respon atas fenomena ketidakadilan prosedural dalam penanganan kasus-kasus etik di berbagai perguruan tinggi, dan berkomitmen mengedepankan tegaknya keadilan prosedural, obyektivitas dalam penanganan kasus etik, perlindungan terhadap hak terlapor dan pelapor secara seimbang, serta penghormatan terhadap prinsip-prinsip dasar hukum, etik dan budaya akademik.
Forum ini dikoordinatori oleh Prof Indra Bastian (UGM dengan Wakil Koordinator Prof Okid Parama Astirin (Universitas Sebelas Maret) dan Sekretaris Dr Muhammad Luthfie Hakim (Universitas Muhammadiyah Jakarta).
Annggota sebanyak 15 orang terdiri dari Prof Ana Nadya Abrar, Prof Chairil Anwar, Maschuri Maschab, SU, Prof Rarastoeti Pratiwi (UGM), Silih Agung Waseso, Psi dan Ir Triatmo (alumni UGM.
Anggota lain adalah Ahmad Jauhar, MM (Wakil Ketua Dewan Pers 2016 – 2022), Prof Ajeng Diantini, dan Prof Muchtariadi dari Universitas Padjadjaran. Dari Universitas Indonesia Prof Arry Yanuar dan Prof Heru Susetyo.
Anggota dari Universitas Brawijaya, Prof Adi Susilo, sementara dari ITB Prof Daryono Hadi Tjahyono. Prof Euis Sunarti dari IPB, serta Dr Yulianto P Winarno dari Universitas Cendekia Mitra Indonesia.
Dalam kata pengantarnya disebutkan, buku putih diterbitkan bukan untuk membela individu tertentu, melainkan untuk membela prinsip bahwa budaya akademik harus bertumpu pada rasionalitas.
Bahwa etika harus ditegakan dengan kehati-hatian, dan bahwa hukum harus ditegakan dengan keadilan.
Telaah secara budaya media, etika akademik, yuridis administratif dan perlindungan data pribadi pada buku putih tersebut, diharapkan dapat memperkaya diskusi publik yang lebih berimbang. Menegaskan pentingnya reformasi etik yang adil, serta memperkokoh kepercayaan terhadap dunia akademik di Indonesia.
Buku putih yang terbagi dalam 7 bab ini menyoroti kasus dugaan kekerasan seksual di lingkungan kampus UGM yang melibatkan Prof EM yang menjadi perbincangan hangat beberapa waktu terakhir ini.
Dalam buku tersebut disoroti, terlapor, dalam hal ini Prof Dr apt Edy Meiyanto, M.Si tidak mendapatkan haknya yang juga dilindungi oleh hukum, terutama perlindungan data pribadi yang kemudian bocor ke media.
Dua hal yang menjadi sosotan dalam konteks akademik dan etik institusional adalah ketidakjelasan konsideran kategori pelanggran dan lemahnya argumentasi normatif atas sanksi yang dijatuhkan. Ketidakjelasan itu berimplikasi terhadap asas keadilan prosedural dan integritas kelembagaan.
Sejak awal, kasus EM diberitakan sebagai bagian dari pelanggaraj kekerasan seksual. Namun hingga kini, tiak pernah ada kejelasan rinci kategori pelanggaran.
Apakah itu kekerasan seksual menurut hukum pidana, pelanggaran etik akademik atau pelanggaran moral umum.
Ketidakjelasan ini tidak hanya membingungkan publik, tetapi juga membahayakan tatanan etik institusi.
Menurut informasi yang diterima Anggota Forum, saat dilakukan penilaian oleh Dekanan Farmasi UGM, ‘nilai tuduhan adalah sekitar 30 persen dari pelanggaran atas peraturan’.
Jika benar, mengapa sanksi yang dijatuhkan adalah pemberhentian tetap sebagai dosen? Padahal secara proporsional dan logis, sanksi seharusnya mencerminkan bobot pembuktian.
Dalam sistem hukum modern, kategorisasi adalah fondasi keadilan. Tanpa kategorisasi yang eksplisit, sanksi menjadi rentan dimanipulasi dan digunakan sebagai alat politik atau moral panic.
Ketidakjelasan kategori dalam institusi ini dapat memicu policy cascade, dimana tekanan publik menjadi lebih dominan daripada evaluasi rasional.
Kejanggalan Lain
Selain ketiadaan kategori, kejanggalan lain dalam kasus EM yang mendapat sorotan adalah bocornya hasil temuan Tim Satuan Tugas, bahkan sebelum terlapor menerimanya.
Terlapor tidak diberi kesempatan untuk mengetahui hasil temuan Tim Satuan Tugas sebelum laporan tersebut dirilis.
Viralitas pemberitaan melalui media arus utama maupun media sosial memperparah situasi hingga mencapai tekanan sosial dan character assassination terhadap EM dan keluarganya.
Buku putih juga menyoroti pemberitaan Tempo bertajuk Gelagat Cabul Profesor Pembimbing edisi 31 Maret – 6 April 2025.
Dalam berita tersebut Tempo menggunakan rekomendasi Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Stagas PPKS) UGM, tertanggal 21 Februari sebagai pembuka dan seolah merupakan hal baru, sementara SK Rektor tentang pemecatan Prof EM sudah terbit sejak 20 Januari 2025.
Masalahnya, apakah Tempo tidak merasakan keanehan ini? Tulis buku putih tersebut. Apakah Tempo tidak merasa sedang diperalat untuk memperkuat tekanan moral terhadap EM?
Dalam kasus EM, pristiwa yang sebenarnya adalah pemberhentian seorang guru besar sebagai dosen di UGM. Tuduhan kekerasan seksual, dalam konstruksi ini, bisa menjadi pintu masuk untuk mencapai tujuan pemberhentian tersebut.
‘’Ini tentu hanya salah satu kemungkinan yang patut disikapi secara karitis,’’ tulis buku putih lebih lanjut.
Dalam pemberitaan tersebut, terlapor EM tidak mendapat kesempatan untuk berbicara, dan hanya mengutip Ketua Satgas PPKS UGM, RA Yayi Suryo Prabandari serta hanya 3 dari 15 korban.
Masalah lain yang disoroti adalah keadilan prosedural dan akses terhadap putusan yang tidak dimiliki oleh EM.
Hak EM untuk memiliki akses terhadap dokumen hasil pemeriksaan diabaikan dalam kasus ini. Akibatnya ia tidak memiliki landasan untuk mengajukan keberatan secara substansial terhadap SK Rektor yang memberhentikannya.
Ironisnya, isi dokumen tersebut justru bocor ke media massa, sehingga masyarakat membentuk opini publik sebelum terlapor mendapatkan kesempatan formal untuk mengetahui dan menanggapi tuduhan.***