MINUM jamu telah menjadi bagian integral dari budaya bangsa Indonesia, terutama di Pulau Jawa, di mana keberadaan pabrik jamu sangat melimpah.
Tak berlebihan jika dikatakan, “Negeri yang bernama JAMU itu Indonesia.”
Praktik ini tidak terpisahkan dari sejarah panjang yang menunjukkan bahwa dari abad ke-5 hingga abad ke-19, tanaman obat merupakan sarana utama bagi masyarakat tradisional dalam pengobatan dan pemeliharaan kesehatan.
Kerajaan-kerajaan besar di nusantara, seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram, mencapai puncak kejayaannya dengan mengandalkan pemanfaatan tanaman obat untuk kesehatan.
Salah satu tokoh penting pada masa Majapahit adalah Ra Tanca, seorang ahli pengobatan istana yang mahir meracik obat-obatan dari berbagai tumbuhan dan hewan.
Keahlian Ra Tanca dalam menentukan kandungan obat yang bermanfaat telah menghasilkan ramuan yang ampuh untuk mengatasi berbagai penyakit.
Prasasti Madhawapura dari zaman Majapahit mencatat adanya profesi ‘tukang meracik jamu’ yang dikenal sebagai “Acaraki,” menegaskan pentingnya tradisi ini dalam sejarah.
Selain itu, relief Candi Borobudur juga mencerminkan nilai-nilai budaya dan spiritual yang mengedepankan pengobatan tradisional, dengan berbagai interpretasi yang menunjukkan makna mendalam akan pentingnya pemujaan terhadap nenek moyang.
Relief Karmawibhangga pada panel 18 menampilkan seorang pria yang menerima perawatan dari beberapa wanita, di mana satu wanita memijat kepalanya, sementara yang lain memegang tangan dan kakinya.
Ekspresi kesedihan terlihat pada orang-orang di sekitarnya.
Panel 19 menggambarkan situasi serupa, di mana beberapa individu memberikan bantuan kepada pria yang sakit dengan memijat kepala, menggosok perut, serta dada, sementara seseorang membawa obat.
Di samping itu, terdapat adegan yang menunjukkan rasa syukur atas kesembuhan seorang pasien.
Jamu telah menjadi bagian dari budaya Indonesia selama berabad-abad, dengan akar sejarahnya yang kuat di lingkungan keraton, khususnya di Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Pada masa lalu, resep jamu hanya dikenal di kalangan keraton dan dilarang untuk disebarkan ke luar.
Namun, seiring perkembangan zaman, anggota keraton yang modern mulai mengajarkan cara meracik jamu kepada masyarakat luar, sehingga popularitas jamu meluas, tidak hanya di Indonesia tetapi juga ke luar negeri.
Bagi masyarakat Indonesia, jamu merupakan warisan turun-temurun dari leluhur yang patut dipertahankan dan dikembangkan.
Sejarah jamu gendong berhubungan erat dengan kerajaan Mataram Islam, di mana Wiku—seorang dukun atau orang pintar—pertama kali meramu jamu dari tumbuh-tumbuhan yang kemudian dijajakan dengan cara dipikul oleh pria dan digendong oleh wanita.
Hingga kini, jamu gendong tetap dilestarikan, dengan berbagai jenis seperti beras kencur yang dikenal efektif menghilangkan pegal dan merangsang nafsu makan.
Beras kencur dibuat dengan menggunakan bahan pokok beras dan kencur, serta gula merah, gula pasir dan sedikit garam.
Jamu gendong masih bisa dinikmati, terutama di Yogyakarta, Surakarta, dan pulau Jawa pada umumnya.
Di samping itu, ramuan Madura juga merupakan warisan asli bangsa Indonesia.
Ketika mendengar “ramuan Madura,” banyak orang langsung teringat pada obat kuat yang terkenal.
Masyarakat Madura lebih banyak memanfaatkan jamu sebagai sarana pemeliharaan kesehatan, meskipun beberapa jenis juga digunakan untuk mengobati penyakit.
Ramuan Madura memiliki keunikan tersendiri, dengan rasa pahit segar dan aroma khas rempah-rempah yang menggoda.
Seiring dengan perkembangan jamu, meskipun secara empiris terbukti aman untuk dikonsumsi, pembuktian ilmiah tetap menjadi tuntutan penting.
Peraturan yang membatasi jumlah simplisia dalam penyusun jamu diharapkan dapat membantu produsen meracik jamu secara rasional, guna mengurangi kemungkinan efek samping.
Langkah ini juga bertujuan mempermudah penelitian untuk pengembangan jamu menjadi herbal terstandar dan fitofarmaka, sehingga manfaatnya dapat lebih dioptimalkan dan diakui secara ilmiah.***