Site icon IAI NEWS

Generik Bukan Kelas Dua: Menegaskan Mutu dalam Praktik Kefarmasian

PERSEPSI masyarakat terhadap obat masih seringkali dipengaruhi oleh merek dan harga. Banyak yang menganggap bahwa obat bermerek (sering disebut obat paten) memiliki kualitas lebih unggul dibandingkan obat generik bermerek.

Padahal, secara regulasi, kedua jenis obat tersebut harus memenuhi standar mutu, keamanan, dan khasiat yang sama.

Ketidaktahuan ini dapat berdampak pada ketidakpercayaan pasien terhadap terapi yang diberikan, terlebih jika obat generik bermerek disubstitusikan oleh apoteker di pelayanan farmasi.

Istilah ‘obat paten’ dalam masyarakat sering kali tidak merujuk pada makna hukum paten sebenarnya, melainkan pada obat bermerek pertama yang beredar di pasaran.

Setelah masa paten berakhir, obat dengan zat aktif yang sama dapat diproduksi oleh industri farmasi lain dalam bentuk obat generik bermerek.

Obat generik bermerek biasanya memiliki nama dagang sendiri, tampilan kemasan yang berbeda, serta strategi pemasaran masing-masing perusahaan.

Di sinilah muncul variasi harga yang kadang cukup signifikan antar produk dengan kandungan zat aktif yang sama.

Perbedaan harga ini bukan disebabkan oleh perbedaan kualitas zat aktif, melainkan oleh faktor-faktor seperti biaya branding, pengembangan formulasi tambahan, bentuk sediaan khusus, hingga strategi promosi.

Hal-hal tersebut adalah strategi bisnis yang sah dan umum diterapkan dalam industri farmasi.

Namun, tantangan muncul ketika pasien atau tenaga kesehatan sendiri kurang memahami bahwa nilai terapeutik obat generik bermerek setara dengan produk referensinya.

Dalam konteks pelayanan kefarmasian, apoteker memiliki peran penting dalam menjembatani pemahaman ini.

Apoteker tidak hanya berperan dalam menyerahkan obat, tetapi juga memberikan edukasi dan klarifikasi kepada pasien.

Di Indonesia, peraturan perundangan seperti Permenkes RI No. 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek memberikan kewenangan bagi apoteker untuk melakukan substitusi obat, termasuk dalam pelayanan swamedikasi, sepanjang didasarkan pada pertimbangan ilmiah dan bertujuan untuk kepentingan pasien.

Penerapan substitusi obat oleh apoteker, apabila dilakukan secara bertanggung jawab, dapat mendukung aksesibilitas obat bagi masyarakat tanpa menurunkan kualitas terapi.

Dalam hal ini, keterbukaan informasi menjadi kunci. Pasien perlu dijelaskan bahwa substitusi dilakukan dengan produk yang telah teregistrasi dan memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sehingga tidak ada perbedaan klinis yang berarti dalam hal efikasi dan keamanan.

Strategi edukasi yang efektif juga harus disertai pendekatan yang komunikatif. Apoteker dapat menggunakan media visual, simulasi, hingga penyuluhan komunitas untuk menjelaskan perbedaan istilah obat paten, generik bermerek, dan generik polos.

Pendekatan ini sangat relevan dalam dunia pendidikan farmasi agar mahasiswa memahami peran strategis mereka di masa depan sebagai pemberi informasi dan pembela hak kesehatan masyarakat.

Dalam praktik bisnis apotek, apoteker juga dapat menerapkan strategi pelayanan yang berfokus pada kebutuhan pasien.

Meskipun margin keuntungan dari obat generik bermerek lebih rendah dibandingkan obat bermerek dagang, apoteker tetap dapat menjaga kelangsungan usaha melalui efisiensi pengelolaan stok, layanan konsultasi tambahan, dan inovasi seperti paket terapi yang ekonomis dan rasional.

Pelayanan yang berorientasi pada kualitas akan menciptakan loyalitas pasien.

Di tengah tantangan ekonomi dan kesenjangan akses obat di beberapa wilayah Indonesia, keberadaan apoteker yang mampu memberikan substitusi yang tepat menjadi aset berharga dalam sistem kesehatan.

Substitusi yang tepat bukan hanya tentang mengganti produk, tetapi juga menjamin keberlanjutan terapi pasien secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Upaya memperkuat persepsi positif terhadap obat generik bermerek tidak bisa hanya dilakukan oleh apoteker secara individu.

Perlu kolaborasi antara institusi pendidikan, asosiasi profesi, pemerintah, dan media untuk menyampaikan pesan yang konsisten dan berbasis bukti.

Edukasi publik yang komprehensif akan menurunkan resistensi terhadap obat generik, sekaligus meningkatkan kesadaran bahwa kualitas tidak hanya ditentukan oleh harga dan merek.

Dengan menjunjung tinggi prinsip ilmiah, etika profesi, dan keberpihakan pada pasien, apoteker dapat menjadi garda terdepan dalam memastikan bahwa setiap orang menerima terapi yang aman, efektif, dan terjangkau.

Membangun kepercayaan terhadap obat generik bermerek adalah bagian dari misi besar untuk menyehatkan bangsa secara berkeadilan.

Meluruskan persepsi tentang obat adalah langkah awal menuju sistem kesehatan yang lebih adil, transparan, dan berorientasi pada mutu.***

 

Exit mobile version