MUARA KAMAN, IAI News – Kabut pagi masih menyelimuti aliran Sungai Mahakam ketika saya dan keluarga tiba di Desa Muara Kaman, Kecamatan Muara Kaman, Kutai Kartanegara. Di tempat inilah, sekitar 16 abad lalu, berdiri Kerajaan Martapura, yang selama ini dikenal sebagai Kerajaan Kutai, merupakan kerajaan tertua di Indonesia.
Prasasti Yupa, ditemukan pada 1879 dan 1940, menjadi bukti tertulis tertua tentang peradaban Nusantara. Prof. Johan Hendrik Caspar Kern, peneliti pertama prasasti ini, memperkirakan pembuatannya sekitar tahun 400 Masehi.
Sementara itu, ahli epigrafi Louis Charles Damais menetapkan tarikh 425 M, dan Edhie Wurjantoro dari UI memperkirakan pertengahan abad ke-5 (450 M).
Pemandu lokal, Pak Halim (45), mengantar kami ke situs penemuan tujuh prasasti Yupa—tiang batu beraksara Pallawa yang menjadi bukti tertulis tertua di Nusantara.
“Ini peninggalan Raja Mulawarman,” ujarnya, menunjuk replika prasasti setinggi 2 meter. Prasasti asli kini disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Prasasti Yupa mengungkap bahwa raja pertama kerajaan ini adalah Kundungga, nama asli Kalimantan yang menunjukkan ia bukan imigran India atau Champa. Putranya, Aswawarman, adalah yang pertama memeluk Hindu melalui brahmana, menandai dimulainya pengaruh Hindu di kerajaan.
Puncak keemasan kerajaan terjadi di era Mulawarman, putra Aswawarman. Prasasti Yupa mencatat upacara besar dengan persembahan hasil bumi melimpah, serta kedatangan brahmana dari India untuk menulis aksara Pallawa dalam bahasa Sanskerta.
Meski dikenal sebagai Kerajaan Kutai, prasasti Yupa sama sekali tidak menyebut nama tersebut. Tim Penyusun Sejarah Nasional Indonesia menjelaskan bahwa nama “Kutai” diberikan oleh peneliti Belanda berdasarkan lokasi penemuan prasasti di wilayah Kesultanan Kutai.
Sejarawan Constantinus Alting Mees dalam disertasinya (1935) menegaskan bahwa nama “Kutai” baru muncul pada akhir abad ke-13, ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti mendirikan Kerajaan Kutai Kertanegara di hilir Mahakam. Dengan demikian, kerajaan Mulawarman seharusnya disebut Martapura, bukan Kutai.
Martapura (di hulu Mahakam, Muara Kaman) dan Kutai Kertanegara (di hilir Mahakam) adalah dua kerajaan terpisah. Martapura didirikan Dinasti Aswawarman, sementara Kutai Kertanegara lahir enam abad kemudian.
Literasi tentang Martapura masih minim, padahal naskah Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara (1849) bisa menjadi sumber penting. Naskah beraksara Arab Melayu ini disimpan di Perpustakaan Negeri Berlin, Jerman.
Kitab tersebut menceritakan berdirinya Kutai Kertanegara di Jaitan Layar (1300 M), kini Desa Kutai Lama. Naskah ini justru menguatkan bahwa nama “Kutai” tidak terkait dengan era Mulawarman.
Masyarakat umum kerap menyamakan Martapura dengan Kutai akibat simplifikasi sejarah. Padahal, Martapura adalah kerajaan Hindu abad ke-5, sementara Kutai Kertanegara adalah kesultanan Islam abad ke-13.
Situs arkeologi di Muara Kaman, termasuk area upacara Mulawarman, masih kurang tergali. Pemerintah setempat berencana mengajukan status cagar budaya ke UNESCO.
Minimnya pendanaan dan ahli epigrafi menjadi kendala dalam mengungkap lebih banyak prasasti atau artefak Martapura yang mungkin masih tersembunyi.
Sayangnya, situs bersejarah ini terlihat kurang terawat. Tidak ada papan informasi memadai, hanya tanda sederhana dari dinas kebudayaan setempat. “Kami berharap pemerintah lebih memperhatikan,” keluh Halim warga setempat yang juga pemandu kami.
Sebelum meninggalkan Muara Kaman, kami menyempatkan diri menikmati sunset di tepi Mahakam. Di tempat yang sama dimana ribuan tahun lalu sebuah peradaban besar pernah berdiri, kini hanya riak air yang terus mengalir, membawa cerita tentang kejayaan yang hampir terlupakan.***