Site icon IAI NEWS

Dari Desa Mandu Dalam : Perjalanan Penelitian Etnofarmasi Dayak Basap

KUTAI TIMUR, IAINews, Suku Dayak Basap, salah satu kelompok masyarakat asli di Kalimantan Timur yang masih memegang teguh adat istiadat, ternyata menyimpan kekayaan pengetahuan tentang pengobatan tradisional berbasis tumbuhan.

Sayangnya, warisan leluhur ini terancam hilang karena minimnya minat generasi muda dan ketiadaan dokumentasi tertulis.

Masyarakat Dayak Basap tersebar di beberapa desa di Kecamatan Sangkulirang (Kerayaan Bilas, Mandu Dalam, Tepian Terap), Sandaran (Susuk Dalam, Marukangan, Tadoan, Aladan), Bengalon (Keraitan, Tebangan Lembak, Tepian Langsat, Sepaso), dan Karangan (Karangan Dalam, Karangan Seberang, Baay, Batu Lepoq).

Tim penelitian etnofarmasi Dayak Basap dari STIKSAM

Selama ini, pengetahuan pengobatan tradisional mereka diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi.

Sebuah tim peneliti multidisiplin yang dipimpin oleh Dr. apt. Eka Siswanto Syamsul, M.Sc, apt. Supomo, M.Si dan tim dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Samarinda (STIKSAM) bersama mahasiswa Addy Zekarian Alfarizi berhasil mendokumentasikan 30 jenis tumbuhan obat tradisional milik sub suku Dayak Basap di Kutai Timur.

Penelitian ini dilakukan di Desa Mandu Dalam, Kecamatan Sangkulirang, sebagai bagian dari upaya melestarikan kearifan lokal yang terancam punah. Dayak Basap merupakan salah satu sub suku Dayak yang masih mempertahankan tradisi pengobatan turun-temurun secara lisan.

Menurut tim peneliti, pengetahuan tentang tanaman obat ini tersebar di berbagai desa seperti Kerayaan Bilas, Susuk Dalam, Keraitan, hingga Karangan Dalam. Namun, pewarisan pengetahuan yang hanya mengandalkan tradisi lisan membuatnya rentan terhadap kepunahan.

“Kami menemukan fakta mengkhawatirkan bahwa generasi muda Dayak Basap mulai kehilangan minat terhadap pengobatan tradisional,” ungkap Dr. Eka Siswanto Syamsul dalam paparannya.

Metode penelitian menggabungkan pendekatan kualitatif melalui wawancara semi-terstruktur dengan 30 informan kunci, dan kuantitatif dengan analisis Informant Consensus Factor (ICF), Use Value (UV), dan Fidelity Level (FL).

Teknik snowball sampling digunakan untuk menemukan responden, di mana satu informan akan mengarahkan peneliti ke informan berikutnya. Metode ini terbukti efektif menjangkau para tetua adat yang menguasai pengetahuan tradisional.

Hasil penelitian menunjukkan, masyarakat Dayak Basap menggunakan tumbuhan obat dengan lima cara: diminum (22 jenis), ditempel (4 jenis), ditetes (2 jenis), dan dioles (2 jenis). Daun bemban untuk sakit mata dan kembang tanjung untuk sakit gigi merupakan contoh penggunaan dengan cara ditetes.

Bagian tanaman yang paling banyak dimanfaatkan adalah akar (40%), diikuti daun (35%), dan bagian lainnya. Cara pengolahan dominan adalah perebusan (60%), mencerminkan preferensi pengobatan internal dengan cara diminum.

Analisis UV mengungkap jahe (0.85), kunyit (0.82), akar sampai (0.78), pasak bumi (0.75), dan ciplukan (0.72) sebagai tanaman dengan nilai kegunaan tertinggi. Sementara kunyit dan jahe mencatat FL 90%, menunjukkan kepercayaan masyarakat yang tinggi.

Tim penelitian Etnofarmasi suku Dayak Basap dari STIKSAM

Penyakit dengan konsensus tertinggi (ICF 0.85-0.90) adalah bengkak, malaria, kurap/kadas, dan gangguan liver. Temuan ini menunjukkan spesialisasi pengobatan tradisional Dayak Basap dalam menangani penyakit tertentu.

“Yang mengkhawatirkan adalah hanya 20% responden di bawah 40 tahun yang menguasai pengetahuan ini,” tambah Addy Zekarian Alfarizi, mahasiswa yang terlibat dalam penelitian.

Tim peneliti menemukan bahwa akar sampai (brotowali) mengandung alkaloid dan flavonoid yang secara ilmiah terbukti berkhasiat untuk rematik dan diabetes. Sementara daun seperti kelor dan glenggang kaya akan klorofil dan tannin.

Pentingnya ada upaya secara terencana membuat database digital dan buku saku tentang tanaman obat Dayak Basap sebagai upaya pelestarian.

“Kami juga akan melakukan penelitian lebih lanjut untuk menguji khasiatnya secara ilmiah,” jelas apt. Supomo.

Penelitian ini diharapkan menjadi langkah awal untuk memadukan kearifan lokal dengan pengobatan modern.

“Ini bukan hanya tentang tanaman obat, tapi tentang menyelamatkan warisan budaya yang tak ternilai,” pungkas Dr. Eka Siswanto Syamsul.

Namun, para peneliti mengkhawatirkan ancaman kepunahan pengetahuan ini. “Jika tidak ada upaya pendokumentasian dan regenerasi, tradisi pengobatan Dayak Basap bisa hilang dalam beberapa dekade mendatang,” ungkapnya

Upaya pelestarian melalui pendekatan etnofarmasi diharapkan dapat menjadi solusi untuk menjaga warisan budaya sekaligus mengungkap potensi pengobatan alami yang mungkin bermanfaat bagi dunia medis modern.***

Exit mobile version