Informasi
Hubungi Redaksi IAINews melalui email : humas@iai.id
Floating Left Ads
Floating Right Ads
banner 950x90

Apoteker Puskesmas: Robot Serbabisa yang Terlupakan

robot puskesmas
banner 120x600
banner 468x60

DIBALIK layanan kesehatan di setiap Puskesmas, apoteker berdiri sebagai tulang punggung yang menjalankan banyak tugas sekaligus.

Mereka meracik obat, melayani pasien, mengelola stok, mengedukasi masyarakat, menyusun laporan, hingga mencatat ribuan data farmasi.

Iklan ×

Apoteker bukan sekadar pengelola obat, tetapi juga pengawal mutu terapi. Namun, ironisnya, di tengah beban kerja yang menumpuk, insentif yang mereka terima jauh dari sepadan.

Mereka bekerja layaknya robot serbabisa, tapi upahnya tak mencerminkan kontribusi besar mereka.

Coba tengok ruang farmasi di Puskesmas mana pun. Apoteker tidak hanya mengurus resep. Mereka mengelola stok obat untuk program nasional seperti penanganan tuberkulosis (TB), HIV, gizi buruk, hingga Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).

Mereka menjadi penghubung antara program BPJS, fasilitas kesehatan, dan distribusi logistik Dinas Kesehatan.

Baca Juga  Catut Nama Apotek, Akun Online Jual Produk Ilegal

Tak jarang, mereka juga harus menghadiri rapat lintas sektor, menyusun laporan e-monev, mengelola sistem informasi puskesmas (SIMPUS), mengurus e-katalog, hingga memverifikasi klaim—sering kali seorang diri.

“Dalam sehari, saya bisa menangani tiga sampai empat sistem pelaporan berbeda. Belum lagi melayani pasien, memberikan edukasi, mendampingi program TB, dan melatih tenaga baru. Tapi insentif saya bahkan tak sampai setengah dari dokter,” keluh Mayang (bukan nama sebenarnya), seorang apoteker di salah satu Puskesmas di kota besar Jawa Tengah.

Dalam skema pembagian jasa kapitasi dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), nama apoteker sering kali tak masuk prioritas.

Padahal, beban administratif dan programatik yang mereka pikul jauh lebih berat dibandingkan peran lain. Apoteker menjadi “tangan kanan” berbagai program vertikal Kementerian Kesehatan, namun kerap hanya dianggap sebagai pelaksana teknis, bukan profesional kesehatan strategis. Padahal, keahlian mereka tak kalah penting dibandingkan tenaga kesehatan lainnya.

“Saya ikut menyusun perencanaan obat untuk 30 program nasional, mengelola distribusi hingga ke desa-desa, dan menjadi narahubung untuk semua audit. Tapi dalam SK pembagian jasa JKN, saya hanya masuk kategori penunjang,” ungkap Vania (bukan nama sebenarnya), apoteker dari sebuah Puskesmas di Kalimantan.

Kondisi ini bukan hanya ketidakadilan bagi profesi apoteker, tetapi juga melemahkan sistem kesehatan primer secara keseluruhan. Apoteker adalah ujung tombak dalam memastikan keberhasilan terapi, mengedukasi penggunaan obat secara rasional, dan menjaga kelancaran logistik obat.

Tanpa dukungan memadai, motivasi mereka bisa meredup. Jika apoteker kehilangan semangat, sistem pelayanan farmasi di Puskesmas berisiko lumpuh tanpa disadari.

Ironi ini mencerminkan masalah struktural dalam sistem kesehatan: peran besar tak selalu diimbangi penghargaan yang setara.

Apoteker, yang seharusnya disejajarkan dengan tenaga kesehatan lain, justru tersisih dalam skema insentif dan kebijakan.

Mereka ibarat robot serbabisa: satu orang menjalankan lima peran sekaligus—klinisi, logistik, administratif, hingga edukator—namun insentifnya tak lebih dari pekerja musiman.

Sudah saatnya sistem kesehatan menghapuskan ketidakadilan ini. Keadilan profesi harus diwujudkan, bukan hanya melalui pengakuan simbolis, tetapi melalui insentif yang adil, proporsional, dan mencerminkan kontribusi nyata.

Apoteker Puskesmas bukan sekadar pengelola obat—mereka adalah pilar utama layanan kesehatan dasar. Jangan biarkan mereka terus menjadi robot serbabisa yang dikorbankan dalam sunyi, karena tanpa mereka, sistem kesehatan primer akan kehilangan salah satu fondasinya.

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

banner 950x90