TANGERANG, IAINews – Dalam pelaksanaan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) farmakovigilans, apoteker memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun sistem.
Pentingnya peran apoteker dalam KIE farmakovigilans tersebut disampaikan dalam kegiatan bertajuk ‘KIE Farmakovigilans bagi Tenaga Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan’.
Acara yang diselenggarakan oleh Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Tangerang di Gedung MYC, Universitas Pelita Harapan beberapa waktu lalu ini, dibuka oleh M. Sony Mughofir, S.Si, Kepala Balai POM Tangerang.
Diikuti oleh 96 peserta, terdiri atas 7 orang petugas dari Balai POM Tangerang dan 89 tenaga kesehatan perwakilan dari berbagai fasilitas pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, klinik, serta Puskesmas di Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang.
Tujuan kegiatan ini adalah memperkuat penerapan Peraturan BPOM Nomor 15 Tahun 2022 tentang Penerapan Farmakovigilans, sekaligus mendukung implementasi program tersebut.
Keberhasilan program farmakovigilans sangat dipengaruhi oleh peran aktif tenaga kesehatan dalam Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
Salah satu tujuan utama MESO adalah mendeteksi Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) atau Efek Samping Obat (ESO).
Penekanan dasar hukum kegiatan ini merujuk pada Undang-Undang Kesehatan Tahun 2023 Pasal 141 Ayat 3, yang menyatakan bahwa penggunaan obat, obat bahan alam, dan alat kesehatan harus memperhatikan keselamatan pasien, baik oleh industri farmasi maupun tenaga kesehatan.
Pemateri pertama adalah apt. Dra. Ega Febrina, dari Tim Kerja Pengawasan Keamanan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Balai POM.
Dikatakan, farmakovigilans merupakan pengawasan terhadap keamanan obat selama seluruh siklus hidupnya, guna melindungi keselamatan pasien.
Ia menekankan peran tenaga kefarmasian sebagai key players dalam pendekatan manajemen risiko, mulai dari identifikasi, penanganan, pengendalian, pengkajian, komunikasi, hingga pelaporan.
Pelaporan elektronik e-MESO dapat diakses melalui laman: https://e-meso.pom.go.id, terutama jika ditemukan KTD atau ESO yang serius, khususnya terkait obat baru.
Pemateri kedua, apt. Tuty Sriwahyuni, M.Pharm-Klin, FACP, dari Siloam Hospitals, menyoroti pentingnya keterlibatan aktif apoteker dalam membangun sistem farmakovigilans.
Berdasarkan survei, 79,34% tenaga kesehatan belum pernah melaporkan KTD atau ESO, dengan alasan utama adalah kurangnya pemahaman mengenai prosedur dan lembaga pelapor yang berwenang.
Oleh karena itu, tenaga kefarmasian diharapkan memahami risiko dan gejala Adverse Drug Reaction (ADR), termasuk predisposisi, interaksi obat, dan mekanisme ADR.
Penilaian dapat dilakukan menggunakan algoritma seperti Naranjo (1981), Liverpool Causality Assessment Tool (2011), atau Uppsala Monitoring Center (2013) untuk menilai probabilitas kejadian.
Akhir kegiatan diberikan pelatihan menggunakan e-MESO agar tenaga kesehatan dapat menjalankan program farmakovigilans di tempat masing-masing.
Kegiatan ini mendapat respons positif dari peserta dengan hasil evaluasi menunjukkan peningkatan pemahaman yang signifikan, dengan nilai rata-rata pretest sebesar 63,15 meningkat menjadi 91,69 pada posttest.
Para peserta merasa kegiatan ini bermanfaat dan relevan. Tindak lanjut dari kegiatan ini adalah pemantauan pelaporan KTD/ ESO dari fasilitas pelayanan kesehatan.
Selain itu, beberapa aspek pelaksanaan akan dievaluasi sebagai bahan perbaikan untuk kegiatan berikutnya.***