BERDASARKAN Undang-undang Dasar 1945, Pasal 28H (1), ‘Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan’.
Oleh karena itu, ‘Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. (Pasal 34(3)).
Dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan yang layak bagi semua penduduk Indonesia, Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diatur dalam Undang-Undang nomor 40 Tahun 2004 SJSN, yang penyelenggaraannya diamanatkan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Sebagai penanggungjawab pelayanan kesehatan kepada penduduk Indonesia, BPJS mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas jaminan kesehatan.
Terkait penyelenggaraan kendali mutu dan kendali biaya, BPJS Kesehatan membentuk tim kendali mutu dan kendali biaya (TKMKB) yang terdiri dari unsur organisasi profesi, akademisi dan pakar klinis.
Tim kendali mutu dan kendali biaya dapat melakukan: sosialisasi kewenangan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik profesi sesuai kompetensi; utilization review dan audit medis; dan/atau pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan.
Sejak diluncurkan pada tanggal 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah menjadi tonggak penting dalam mewujudkan akses layanan kesehatan yang merata dan terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia, tanpa terkecuali.
Cakupan kepesertaan BPJS
Pada 1 Juli 2024, jumlah peserta program JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan telah mencapai angka 274.143.621 jiwa (97,66% dari Jumlah penduduk Indonesia sebesar 280.725.428).
Capaian ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam mewujudkan “Universal Health Coverage (UHC)”, dimana seluruh penduduk Indonesia diharapkan memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang adil, merata, dan terjangkau (Ari Dwi Aryani , 17 Juli 2024)
Angka ini mencerminkan peningkatan signifikan dalam kepesertaan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, sekaligus menjadi bukti tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya perlindungan kesehatan.
BPJS Kesehatan terus berupaya memperluas jangkauan layanan, meningkatkan mutu pelayanan, serta memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak demi menjamin keberlangsungan program JKN.
Salah satu manfaat paling nyata dari BPJS Kesehatan adalah jaminan perlindungan finansial saat sakit.
Dengan iuran yang terjangkau, peserta BPJS bisa memperoleh layanan medis mulai dari pemeriksaan dasar di Puskesmas, rawat jalan di rumah sakit, hingga tindakan bedah dan perawatan intensif, tanpa harus mengeluarkan biaya besar.
Ini menjadi penyelamat bagi banyak keluarga, terutama yang berpenghasilan rendah, agar tidak jatuh ke dalam kemiskinan akibat beban biaya kesehatan.
BPJS juga telah membuka akses kesehatan yang lebih luas di berbagai daerah, termasuk wilayah terpencil.
Ratusan juta peserta kini dapat mengakses layanan kesehatan dengan sistem rujukan yang lebih terstruktur, dimulai dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) hingga ke rumah sakit rujukan tingkat lanjut.
Sistem ini tidak hanya mempercepat penanganan pasien, tetapi juga membantu fasilitas kesehatan dalam mengatur sumber daya dan pelayanan secara lebih efektif.
Selain itu, BPJS Kesehatan turut mendorong pemerataan pelayanan kesehatan, baik dari sisi infrastruktur maupun sumber daya manusia.
Dengan adanya standar layanan dan sistem klaim yang seragam, fasilitas kesehatan di berbagai daerah dituntut untuk meningkatkan mutu pelayanan agar sesuai dengan ketentuan JKN.
Dalam konteks kesehatan masyarakat, BPJS juga berperan dalam peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pencegahan penyakit.
Program promotif dan preventif seperti skrining dini untuk penyakit tidak menular (PTM), serta edukasi pola hidup sehat, menjadi bagian dari layanan yang ditanggung BPJS.
Secara keseluruhan, BPJS Kesehatan bukan hanya sekadar program asuransi sosial, tetapi telah menjadi pilar utama sistem kesehatan nasional, yang memperkuat jaminan sosial, memperluas akses pelayanan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia secara berkelanjutan.
Kendala yang dihadapi peserta BPJS
Meski program JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan telah memberikan perlindungan kesehatan bagi jutaan masyarakat Indonesia, dalam pelaksanaannya masih terdapat sejumlah kendala yang dihadapi peserta, khususnya dalam hal akses terhadap obat-obatan yang dibutuhkan.
Salah satu kendala utama adalah jarak dan keterjangkauan fasilitas kesehatan.
Banyak peserta yang tinggal di daerah terpencil atau pedesaan harus menempuh perjalanan jauh ke Puskesmas atau rumah sakit rujukan atau apotek pengelola obat rujuk balik, hanya untuk menebus resep obat.
Kondisi geografis, minimnya transportasi umum, waktu tunggu yang lama, serta keterbatasan waktu dan biaya sering kali membuat peserta terhambat atau bahkan menunda pengambilan obat.
Hal ini tidak hanya menghambat proses penyembuhan, tetapi juga berpotensi menurunkan kepatuhan pasien dalam menjalani terapi.
Selain itu, masih sering terjadi ketersediaan obat yang terbatas di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Ketika obat yang diresepkan tidak tersedia, pasien harus dirujuk ke fasilitas lain atau diminta menebus resep secara mandiri di luar sistem BPJS, yang tentunya menambah beban finansial bagi peserta.
Prosedur administratif yang kadang terasa rumit bagi peserta juga menjadi tantangan tersendiri.
Mulai dari pengambilan resep, verifikasi, hingga proses klaim sering kali memakan waktu lama dan membingungkan, terutama bagi peserta lanjut usia atau yang memiliki keterbatasan literasi digital.
Kendala lain yang cukup signifikan adalah minimnya edukasi dan informasi mengenai hak dan prosedur pengambilan obat.
Banyak peserta yang belum memahami jenis obat yang ditanggung BPJS, alur layanan yang benar, serta mekanisme pengambilan obat program rujuk balik (PRB), yang seharusnya bisa lebih mudah diakses jika informasinya disosialisasikan dengan baik.
Keseluruhan kendala ini, tidak hanya berdampak pada keterlambatan penyembuhan, tetapi juga berpotensi menurunkan kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat sesuai anjuran, yang pada akhirnya memengaruhi efektivitas program JKN secara keseluruhan.
Perlunya BPJS Kerjasama dengan Apotek desa
Rencana pemerintah untuk membangun apotek desa menjadi angin segar bagi masyarakat di daerah pedesaan.
Inisiatif ini dipandang sebagai solusi terhadap berbagai kendala akses layanan kesehatan, khususnya dalam pemanfaatan Program JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan.
Dengan demikian apotek desa berpotensi sebagai mitra strategis bagi BPJS.
Selama ini, tidak meratanya distribusi fasilitas kesehatan termasuk apotek menjadi salah satu hambatan utama bagi peserta JKN, terutama di wilayah pelosok.
Banyak masyarakat desa yang harus menempuh jarak cukup jauh hanya untuk mendapatkan obat yang dibutuhkan, dan hal ini sering kali memperlambat proses pengobatan maupun pengambilan manfaat dari layanan BPJS secara maksimal.
Hadirnya apotek desa diharapkan mampu menjawab tantangan tersebut, sekaligus menjadi titik pelayanan kefarmasian yang terstandar, terjangkau, dan mudah diakses oleh masyarakat pedesaan.
Apotek desa ini harus dirancang sesuai dengan regulasi yang berlaku saat ini, yaitu dikelola sepenuhnya oleh apoteker profesional sebagaimana diatur dalam perundang-undangan kefarmasian.
Ini menjamin bahwa setiap layanan yang diberikan tetap mengedepankan aspek keamanan, mutu, dan kemanjuran obat serta akuntabilitas.
Lebih dari sekadar tempat penyaluran obat, apotek desa juga diharapkan dapat menjadi pusat edukasi kesehatan masyarakat, tempat konsultasi kefarmasian, serta mitra strategis dalam mendukung program promotif dan preventif di tingkat lokal.
Dengan demikian, dalam rangka meningkatkan efisiensi dan akses layanan kesehatan, terutama di wilayah pedesaan, penting bagi pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk mulai mempertimbangkan skema kapitasi parsial bagi apotek desa.
Skema ini tidak hanya menjadi solusi inovatif dalam mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, tetapi juga menjadi bentuk pengakuan terhadap peran strategis apoteker di apotek desa dalam sistem pelayanan kesehatan nasional.
Banyak keluhan peserta BPJS di FKTP terkait antrean panjang, waktu tunggu, hingga terbatasnya tenaga medis untuk menangani penyakit ringan yang sebenarnya dapat diselesaikan melalui layanan farmasi, seperti batuk pilek, demam ringan, dan keluhan non-kritis lainnya.
Dalam kondisi seperti ini, obat bebas, obat bebas terbatas, serta obat keras yang secara ilmiah dan regulatif dapat diberikan oleh apoteker tanpa resep dokter menjadi opsi yang efektif, cepat, dan aman.
Kapitasi parsial di apotek desa memungkinkan pembiayaan sebagian layanan tersebut langsung melalui skema JKN, tanpa membebani peserta maupun sistem pelayanan di puskesmas.
Ini sekaligus membuka jalan bagi peran aktif apoteker dalam pelayanan primer, dengan tetap mengedepankan standar profesi, etika dan pertimbangan ilmiah dalam proses penyerahan obat.
Melalui pendekatan ini, apoteker tidak hanya menjadi pelengkap sistem kesehatan, tapi juga aktor dalam pelayanan kesehatan tingkat pertama khusus penyakit ringan yang membutuhkan obat yang bisa diberikan langsung oleh apoteker sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya di daerah pedesaan.
Selain itu, sistem ini dapat mengurangi beban administrasi FKTP, mempercepat akses pasien terhadap obat, dan mendorong rasionalisasi penggunaan obat.
Dengan regulasi yang tepat dan pengawasan yang terukur, implementasi kapitasi parsial di apotek desa bisa menjadi strategi transformatif dalam mendukung Universal Health Coverage (UHC) secara berkelanjutan.
Dengan UHC, setiap masyarakat, termasuk yang tinggal di pelosok, dapat merasakan manfaat layanan kesehatan yang cepat, tepat, dan berkualitas tanpa keluar uang sedikitpun walaupun obat bebas dan obat bebas terbatas yang selama ini harus beli sendiri.
Apotek desa, yang umumnya lebih dekat dengan masyarakat, dapat menjadi solusi nyata untuk menjawab hambatan yang selama ini dirasakan oleh peserta BPJS.
Melalui kerja sama yang terintegrasi, apotek desa dapat difungsikan sebagai titik layanan obat rujukan non-rumah sakit maupun obat program rujuk balik, sehingga peserta BPJS dapat memperoleh obat secara lebih cepat, mudah, dan terjangkau.
Kerja sama ini juga dapat menciptakan sistem pelayanan yang lebih efisien, di mana resep dari FKTP atau rumah sakit dapat langsung ditebus di apotek desa yang telah terkoneksi dengan sistem BPJS Kesehatan.
Selain itu, peran apoteker di desa juga bisa dioptimalkan dalam edukasi penggunaan obat dan monitoring kepatuhan pasien, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa secara keseluruhan.
Dengan dukungan regulasi yang tepat, penguatan kapasitas Sumber Daya Manusia yang mumpuni, serta sistem informasi yang terintegrasi, kerja sama ini dapat menjadi bagian penting dari transformasi layanan kesehatan berbasis komunitas yang inklusif dan berkelanjutan.***