Informasi
Hubungi Redaksi IAINews melalui email : humas@iainews.net
Floating Left Ads
Floating Right Ads
banner 950x90

Apotek Desa, Akankah Profesi Direduksi Menjadi Perdagangan?

Dr apt Abdul Rahem M.Kes
Dr apt Abdul Rahem, M.Kes, Wakil Ketua Umum Bidang Halal dan JKN PP IAI
banner 120x600
banner 468x60

MELALUI Inpres No 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, Presiden Prabowo Subianto berencana membentuk 80 ribu koperasi yang akan disebar di setiap desa.

Salah satu kegiatan koperasi tersebut adalah Apotek Desa/Kelurahan.

Iklan ×

Menurut Presiden Prabowo, sebagaimana dikutip oleh berbagai media, di tiap desa akan didirikan sebuah apotek desa dengan menyediakan obat generik yang terjangkau oleh rakyat.

Dimungkinkan obat generik ini akan dipasarkan dengan harga hanya sepertiga, atau bahkan hanya 10 persen dari harga yang ada di kota-kota.

Dr apt Abdul Rahem M.Kes

Gagasan ini pada dasarnya sangat positif, karena mencerminkan komitmen untuk pemerataan layanan kesehatan hingga ke pelosok.

Rencana tersebut sangat strategis dan tentu perlu didukung oleh semua pihak jika apotek yang dimaksud adalah model apotek yang sesuai dengan peraturan yang berlaku saat ini, yaitu “Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker”.

Dengan konsep apotek yang sbenarnya, maka apotek desa merupakan upaya meningkatkan akses pelayanan kesehatan masyarakat hingga ke pelosok negeri.

Program ini merupakan bagian dari strategi besar pemerataan pelayanan kesehatan yang adil, terjangkau, dan berkualitas, khususnya bagi masyarakat pedesaan yang selama ini masih menghadapi keterbatasan dalam memperoleh obat-obatan dan layanan kefarmasian.

Apotek Desa harus dirancang sebagai unit pelayanan kefarmasian yang berlokasi langsung di desa atau wilayah terpencil, dan dikelola oleh tenaga kefarmasian yang kompeten yaitu apoteker sesuai dengan kompetensi dan kewenangan yang dimiliki.

Fungsinya tidak hanya sebagai tempat penjualan obat, tetapi merupakan pusat edukasi kesehatan masyarakat, termasuk pemahaman penggunaan obat yang rasional dan pencegahan penyakit bagi masyarakat.

Melalui pendirian Apotek Desa, kita semua berharap dapat mengatasi masalah distribusi obat, meminimalkan praktik penjualan obat ilegal, serta mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pengobatan tradisional yang belum teruji kemanjuran dan keamanannya secara ilmiah.

Baca Juga  HIASKOS PD IAI SULSEL Edukasi Remaja SMKN 8 Makassar Tentang Kosmetik Aman

Keberadaan apotek ini juga harus bersinergi dengan fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti Puskesmas, sehingga membentuk ekosistem pelayanan kesehatan yang holistik dan berkelanjutan.

Dengan adanya Apotek Desa, diharapkan kualitas hidup masyarakat Desa akan semakin meningkat, sekaligus memperkuat fondasi sistem kesehatan nasional yang inklusif dan merata.

Sampai saat ini, pemerintah memang belum secara resmi mengeluarkan konsep atau aturan teknis secara khusus mengenai apotek Desa.

Kita juga berharap, pemerintah segera merumuskan konsep atau aturan teknis apotek desa secara komprehensif, mulai dari aspek legal, standar pelayanan, pembiayaan, hingga integrasi dengan layanan kesehatan primer seperti Puskesmas.

Dengan begitu, pemerataan layanan kefarmasian bisa lebih terjamin, dan kesehatan masyarakat desa bisa semakin ditingkatkan.

Karena hingga saat ini regulasi resmi terkait implementasi model apotek desa belum dikeluarkan oleh pemerintah, maka rencana apotek desa tersebut telah memunculkan beragam interpretasi di masyarakat.

Sejumlah pihak, termasuk pelaku usaha di bidang kefarmasian, mulai berspekulasi terkait bentuk, skema operasional, hingga peran pihak-pihak yang terlibat dalam model apotek desa tersebut.

Ketidakjelasan ini tak hanya menimbulkan kebingungan, tetapi juga berpotensi menciptakan asumsi dan ekspektasi yang tidak sesuai dengan arah kebijakan yang sebenarnya akan ditetapkan pemerintah.

Selain berkembangnya spekulasi akibat belum adanya regulasi resmi yang bersifat teknis, muncul pula persepsi yang keliru di sebagian kalangan bahwa apotek hanyalah unit bisnis semata.

Dalam konteks wacana apotek desa, persepsi ini mulai mengarah pada pemahaman bahwa keberadaan apotek bisa dijadikan salah satu sumber pendapatan desa, tanpa memperhatikan aspek fundamental yang melekat pada praktik kefarmasian.

Baca Juga  Tatalaksana Merawat Luka Mandiri di Apotek: Kenali, Pahami, dan Obati dengan Tepat

Selain itu, muncul pula berbagai spekulasi mengenai skema pelaksanaannya. Dua di antaranya yang cukup menyita perhatian adalah dugaan bahwa akan diterapkan model satu apotek inti dengan beberapa apotek desa sebagai unit plasma, serta spekulasi bahwa seluruh apotek desa nantinya akan dijalankan hanya oleh tenaga teknis kefarmasian.

Jika kenyataannya Apotek Desa tidak sepenuhnya dikelola oleh apoteker, maka pendekatan ini perlu ditinjau ulang.

Apotek, berdasarkan regulasi dan standar profesi, merupakan fasilitas pelayanan kesehatan tempat dilaksanakannya praktik kefarmasian oleh apoteker.

Kehadiran apoteker tidak hanya bersifat administratif, tetapi esensial dalam memastikan keamanan, ketepatan, dan rasionalitas penggunaan obat.

Karena itu, apabila keberadaan apoteker tidak dapat dijamin secara penuh di setiap apotek desa, maka sebaiknya pemerintah mempertimbangkan bentuk layanan yang lebih realistis dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu bukan Apotek desa melainkan pendirian Toko Obat desa yang dapat dikelola oleh tenaga teknis farmasian (dulu dikenal dengan sebutan asisten apoteker).

Model satu apoteker membawahi beberapa apotek secara administratif dengan asumsi efisiensi tenaga dan biaya, tentu perlu dikaji secara serius.

Karena secara regulasi dan etika profesi, seorang apoteker bertanggung jawab penuh atas pelayanan farmasi dengan Surat Izin Apotek (SIA) di satu Apotek saja.

Gagasan untuk membagi tanggung jawab tersebut ke beberapa titik layanan menimbulkan pertanyaan tentang pengawasan mutu, akuntabilitas profesional, serta pemenuhan standar pelayanan kefarmasian.

Sementara itu, spekulasi bahwa apotek desa akan dijalankan sepenuhnya oleh tenaga teknis kefarmasian tanpa pendampingan atau supervisi apoteker, sangat bertentangan dengan kerangka hukum yang berlaku.

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, praktik pelayanan kefarmasian adalah kewenangan apoteker, dan tenaga teknis hanya dapat menjalankan tugasnya di bawah pengawasan apoteker atau bersifat membantu Apoteker.

Baca Juga  Tidak Semua Ketergantungan Obat Berbahaya

Padahal, apotek bukan hanya tempat menjual obat. Apotek adalah fasilitas pelayanan kefarmasian yang dijalankan oleh tenaga profesional yaitu apotekar dengan standar etik, hukum, kompetensi, dan tanggung jawab yang diatur secara ketat oleh regulasi kesehatan.

Fungsi apotek tidak bisa dilepaskan dari aspek pelayanan kesehatan masyarakat, edukasi penggunaan obat yang rasional, hingga pengawasan peredaran obat yang aman dan legal.

Jika apotek desa diposisikan hanya sebagai instrumen ekonomi, maka itu artinya “profesi direduksi menjadi perdagangan”.

Tentu ada risiku serius terhadap mutu layanan kefarmasian, keamanan pasien, serta integritas profesi apoteker jika ‘profesi direduksi menjadi perdagangan’. sehingga dapat berpotensi membuka celah praktik penyalahgunaan, pemalsuan obat, dan penyimpangan etika lainnya yang justru akan merugikan masyarakat desa itu sendiri.

Oleh karena itu, dalam menyusun kebijakan apotek desa, penting untuk menegaskan kembali bahwa aspek pelayanan profesional harus menjadi fondasi utama.

Pendekatan ekonomi desa tetap dimungkinkan, namun tidak boleh mengesampingkan standar profesi dan perlindungan terhadap hak masyarakat atas pelayanan kesehatan yang bermutu.

Semua spekulasi tersebut menegaskan pentingnya pemerintah untuk segera mengeluarkan regulasi yang bersifat teknis secara resmi yang jelas, tegas, tentang Apotek Desa, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk organisasi profesi.

Tanpa kejelasan tersebut, ruang spekulasi akan terus meluas, yang tidak hanya menyesatkan opini publik, tetapi juga berpotensi melemahkan fondasi profesionalisme dalam pelayanan kefarmasian.

Sambil menunggu terbitnya regulasi, diperlukan komunikasi yang terbuka dan koordinasi lintas sektor, agar wacana penguatan layanan kefarmasian di desa dapat benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat, tanpa mengabaikan standar, etika profesi, dan kerangka hukum yang berlaku.***

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

banner 950x90