KASUS HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1987 di Bali. Sejak saat itu, angka kasus terus meningkat.
Berdasarkan laporan terbaru dari Kementerian Kesehatan RI, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS telah mencapai 503.201 kasus. Angka ini tentu sangat mengkhawatirkan dan memerlukan perhatian serius dari semua pihak.
Namun, angka tersebut diyakini belum menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Fenomena ini sering disebut sebagai “fenomena gunung es”, di mana kasus yang terlaporkan hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah kasus yang sebenarnya.
Menurut acuan dari WHO, perbandingan antara kasus yang tercatat dan yang tidak terdeteksi bisa mencapai 1:100 hingga 1:200. Artinya, setiap satu kasus yang teridentifikasi, ada sekitar 100 hingga 200 kasus lain yang belum terdeteksi.
Bayangkan jika kita mengalikan angka 503.201 dengan 100 hingga 200. Hasilnya, secara kasar diperkirakan terdapat antara 50 juta hingga 100 juta penduduk Indonesia yang berisiko atau telah terinfeksi HIV.
Jumlah ini mencakup lebih dari 35% dari total populasi Indonesia yang mencapai lebih dari 281 juta jiwa.
Ledakan Kasus dan Silent Epidemic
Yang lebih mengkhawatirkan, peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS terjadi secara eksponensial. Transmisi virus kini semakin sulit dipantau karena banyak terjadi melalui “silent transmission”, yakni penularan yang tidak disadari baik oleh penderita maupun orang-orang di sekitarnya.
Banyak penderita HIV/AIDS yang memilih menyembunyikan kondisinya. Selain itu, masih banyak individu dengan perilaku berisiko yang enggan melakukan tes HIV, sehingga tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi sumber penularan bagi orang lain.
Data nasional menunjukkan bahwa sekitar 69,9% kasus HIV/AIDS terjadi pada kelompok usia produktif 25–49 tahun. Lebih memprihatinkan lagi, sekitar 35% dari penderita adalah ibu rumah tangga. Angka ini terus meningkat setiap tahun. Banyak dari ibu rumah tangga ini diduga tertular dari suami mereka—baik yang merupakan pelanggan pekerja seks maupun yang terlibat dalam hubungan sesama jenis (LSL). Kelompok ini menjadi mata rantai penularan HIV baru, termasuk kepada anak-anak.
Menuju Generalized Epidemic
Pola penyebaran HIV di Indonesia kini telah mengarah pada Generalized Epidemic Level, yakni ketika penularan HIV terjadi secara luas di kalangan populasi umum. Salah satu indikatornya adalah tingginya prevalensi HIV pada ibu-ibu pengunjung klinik ibu dan anak di wilayah perkotaan, yang secara konsisten berada di atas angka 1%.
Ini menunjukkan bahwa virus HIV kini tidak lagi terbatas pada kelompok risiko tinggi, melainkan sudah menyebar ke masyarakat luas. Ledakan HIV/AIDS kini menjadi ancaman nyata bagi generasi bangsa, termasuk wanita, anak-anak, bahkan bayi.
Ketika suatu penyakit telah menyebar luas di kalangan masyarakat umum, maka statusnya sudah bisa dikategorikan sebagai wabah (epidemi). Dalam kondisi seperti ini, upaya pencegahan dan penanggulangan tidak bisa dilakukan setengah hati.
Dibutuhkan strategi yang komprehensif, terpadu, berkesinambungan, serta melibatkan semua elemen bangsa—baik pemerintah, tenaga kesehatan, masyarakat sipil, media, maupun individu.
Seruan Aksi Bersama
Ancaman HIV/AIDS bukan lagi sekadar isu kesehatan, tetapi sudah menjadi masalah kemanusiaan dan sosial.
Penting untuk terus menyuarakan bahwa HIV/AIDS adalah nyata dan mengancam kehidupan kita semua. Diperlukan komitmen politik, kebijakan nasional yang berpihak, serta aksi nyata di tingkat lokal untuk menghadang penyebaran virus ini.
Jika tidak ditangani dengan serius, HIV/AIDS bisa menjadi bencana nasional dalam waktu yang tidak lama lagi. Mari bersatu, waspada, dan bergerak bersama untuk menyelamatkan bangsa dari ancaman HIV/AIDS.