
JAKARTA, IAINews.com – Aksi damai yang digelar 5 Organisasi Profesi Kesehatan (OPK) mendapat perhatian dari Menteri Polhukam, Mahfud MD.
Kendati tidak bisa menerima kehadiran utusan 5 OPK pada saat aksi damai berlangsung, Mahfud mengundang mereka untuk berdialog pada Kamis, 11 Mei 2023 di kantornya.
Dalam pertemuan tersebut hadir Ketua Umum PP IAI, Noffendri Roestam, Ketua Umum PB IDI, Adib Khuamedi, Sekjen PP IBI, Ade Jubaedah, Ketum DPP PPNI, Harif Fadhilah serta Ketum PB PDGI, Usman Sumantri.
Dalam kesempatan itu, ke 5 OP kembali menyampaikan desakan, agar pambahasan RUU Kesehatan Obl ditunda dan tidak terburu-buru untuk disahkan.
Mahfud MD menerima dengan baik masukan kritis dari 5 OP dan berjanji akan melakukan kajian baik dari aspek substansi maupun regulasinya.
‘’Saya akan minta Deputi Menko PMK untuk membahas lagi substansinya dengan Menteri Kesehatan. Sementara saya akan membuat kajian terkait aspek regulasi,’’ ungkap Mahfud MD.
Menurut Mahfud, aspirasi tersebut disampaikan kepada kementeriannya karena menyangkut politik dan hukum.
“Jadi 5 OPK ini sudah menempuh beberapa cara berkaitan dengan RUU Kesehatan OBL ini. Secara resmi sudah menyampaikan aspirasi ke DPR RI dan Senin kemarin juga sudah demo, sudah juga ke Kemenkes dan hari ini menemi saya,’’ ungkap Mahfud MD kepada wartawan usai menerima utusan 5 OP.
‘’Mengapa ke saya? Karena ini menyangkut legislasi, menyangkut politik hukum, sehingga alurnya ke saya. Yang ke saya bukan substansi materinya,” kata Mahfud MD
Salah satu usulan yang disampaikan adalah agar substansi RUU Kesehatan OBL ini dibicarakan lagi lebih mendalam bersama semua stakeholder dan institusi yang mengkoordinasikan proses legislasi.
‘’Saya akan menyampaikan ini kepada pemerintah yang membidangi yang mengkoordinasikan bidang substansinya, sedang saya bidang prosedurnya,’’ tutur Mahfud MD.
Ketua Umum PP IAI, apt Noffendri Roestam dalam kesempatan itu mengkhawatirkan terdapatnya sejumlah pasal yang potensial merugikan tenaga kesehatan dan masyarakat.
“Kami 5 OP Kesehatan adalah pihak yang sangat mengetahui betul kondisi tenaga kesehatan dan praktik pelayanannya di lapangan. Karena itu kami ingin diikutsertakan dalam pembahasan RUU Kesehatan ini, agar pasal yang kira-kira akan merugikan tenaga kesehatan dan masyarakat bisa dihindarkan. Ini tentu demi pembangunan kesehatan terbaik seperti yang kita inginkan,’’ kata Noffendri.
‘’Kompleksnya masalah dan waktu yang sangat terbatas, menjadikan kami khawatir dan mendesak supaya pembahasan ini ditunda,’’ tambah Noffendri.
‘’Apalagi banyak aturan turunan yang juga harus disiapkan dengan baik, seperti peraturan pemerintah dan permenkes. Ini yang juga harus kita pikirkan bersama, jangan sampai aturan-aturan ini nantinya tidak bisa diimplementasikan di lapangan,’’ tegas Noffendri.
Sementara itu Ketum PB IDI, Adib Khumaidi menjelaskan, bahwa sebenarnya tidak menolak adanya RUU Kesehatan OBL, namun ia menilah sejumlah pasal di RUU ini bersifat kontradiktif.
‘’Karena itu perlu dibicarakan lebih detil dan melibatkan banyak pihak,’’ paparnya.
‘’Ada beberapa pasal yang menurut saya normanya masih abstrak, salah satunya adalah pasal yang mengatur mengenai perlindungan hukum,’’ ungkap Adib Khuamaidi.
Pada pasal 187 yang berkaitan dengan RS, disebutkan Lembaga tersebut tidak dapat dituntut, namun tenaga media dan kesehatan hanya dituliskan berhak mendapatkan perlindungan hukum.
Menurut Adib aturan tersebut bersifat diskriminatif dan inkonsisten.
Selain pasal tersebut, beberapa pasal yang disebut berpotensi menghambat pelayanan oleh tenaga kesehatan.
‘’Ada pasal-pasal di 187, 282, penjelasan 326, 327, 328 dalam pasal ini bukan kita merasa terlindungi, malah kita akan masuk dalam obyek hukum. Ini yang kami ingin bahas lebih dalam,’’ ungkap Adib.
‘’Kami tidak ingin tenaga medis dan kesehatan dalam pelaksanaannya tidak mendapat perlindungan hukum. Kita tidak bisa membuat norma abstrak, harus norma konkrit. Kalau RS dikatakan tidak dapat dituntut, tenaga medis juga harusnya begitu,” jelasnya.
Menjawab terkait dengan rencana mogok kerja tenaga medis dan kesehatan apabila penolakan tersebut tidak mendapat tanggapan, dr. Adib mengatakan bahwa RUU ini ke depan tidak hanya berpotensi membuat tenaga kesehatan mogok bekerja tetapi juga memiliki peluang merugikan keuangan negara.
“Terkait dengan mogok ya, tentu pada saat jaminan hukum tidak didapatkan, kita akan bekerja dengan kekhawatiran, tenaga medis dan kesehatan akan bekerja dengan ketakutan dan tentu ini akan berimplikasi pada layanan kesehatan itu sendiri,’’ terang Adib Khumaidi.
‘’Maksudnya adalah tenaga medis akan memeriksa secara berlebihan. Sekarang dengan era BPJS, sebagian besar tenaga medis melayani jaminan kesehatan nasional. Ketika berbicara mengenai efisiensi pembiayaan BPJS, di satu sisi akan berdampak pada defensive medicine, bukan kerugian di tingkat profesi saja tetapi kerugian di pembiayaan kesehatan. Ini kerugian bagi negara juga,” kata Adib Khumaidi.***