Makassar, IAINews –Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan serius di Indonesia, termasuk di wilayah Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Data notifikasi kasus TB dari Puskesmas Cakung dan delapan kelurahan sekitar menunjukkan jumlah yang signifikan sepanjang Januari–Juli 2025. Meski upaya pengendalian terus dilakukan, tantangan terbesar justru muncul dari ketidakpatuhan pasien dalam menjalani pengobatan jangka panjang. Apoteker berperan penting tingkatkan kepatuhan minum obat tuberkulosis melalui empati, edukasi, dan inovasi layanan farmasi.
Disampaikan pada sesi Workshop oleh apt. Windi Wikandari, S.Farm yang mewakili HISFARKESMAS PP IAI dalam forum Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia (PIT IAI) 2025, Jum’at, 29 Agustus 2025 di Makassar, terungkap bahwa peran apoteker tidak sebatas memberikan obat, melainkan juga mendampingi pasien melalui empati, edukasi, dan komunikasi yang tepat. Sesi ini dipandu oleh Ketua HISFARKESMAS PP IAI, apt. Maria Ulfah, S.Si, MM, M.Ikom.
Masih banyak mitos keliru seputar TB paru yang beredar di masyarakat. Ada yang percaya bahwa TB merupakan kutukan, guna-guna, atau penyakit keturunan. Faktanya, TB paru disebabkan oleh infeksi bakteri mycobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru. Mitos lain menyebut pasien TB harus diisolasi total. Padahal, selama pasien disiplin minum obat, menutup mulut saat batuk atau bersin, mereka tetap dapat berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan. TB paru juga tidak menular lewat debu, melainkan melalui percikan udara (droplet) saat penderita batuk, bersin, atau berbicara.
Faktor Penyebab Ketidakpatuhan
Kepatuhan pasien TB dalam menjalani terapi obat sering kali terkendala oleh berbagai faktor:
- Faktor dari Pasien
Lupa minum obat, pengetahuan terbatas tentang penyakit, hingga tekanan akibat stigma sosial. Kebiasaan merokok atau konsumsi alkohol memperburuk kondisi, apalagi bila dukungan keluarga minim.
- Faktor Sistem Kesehatan
Hubungan yang kurang baik antara pasien dan tenaga kesehatan menurunkan kepercayaan. Minimnya pelatihan komunikasi bagi tenaga kesehatan dan beban kerja tinggi di daerah padat kasus TB membuat layanan tidak maksimal.
- Faktor Koinfeksi, Kesehatan Mental, dan Kekambuhan TB
Depresi, motivasi rendah, hingga trauma akibat sering dirawat membuat pasien enggan melanjutkan pengobatan. Riwayat kambuh dan koinfeksi HIV memperberat kepatuhan.
- Faktor Efek Samping dan Merasa Sembuh
Obat TB bisa menimbulkan gangguan gastrointestinal, kerusakan hati, hingga neuropati. Banyaknya obat yang harus diminum, terutama pada pasien HIV, membuat mereka rentan berhenti terapi lebih awal karena merasa sudah sembuh.
- Faktor Sosioekonomi
Kemiskinan, gizi buruk, lingkungan padat, dan akses kesehatan terbatas menjadi hambatan serius. Kondisi ini sering berkaitan dengan perilaku berisiko seperti merokok dan konsumsi alkohol.
Peran Apoteker: Lebih dari Sekadar Pemberi Obat
Menurut Windi, apoteker memiliki peran kunci dalam menjembatani kesenjangan antara pasien, masyarakat, dan layanan kesehatan. Melalui empati, apoteker memahami beban psikologis pasien. Dengan edukasi, mereka meluruskan mitos sekaligus memberi pengetahuan praktis mengenai TB. Sedangkan lewat komunikasi efektif, apoteker mampu meningkatkan rasa percaya diri pasien sehingga lebih patuh menjalani pengobatan.
“Pasien TB bukan hanya membutuhkan obat, tapi juga pendampingan yang membuat mereka yakin, tidak sendiri, dan tetap optimis,” tegas Windi.
Tuberkulosis bisa disembuhkan, tetapi keberhasilan pengobatan sangat bergantung pada kepatuhan pasien. Dengan strategi empati, edukasi, dan komunikasi yang konsisten dari apoteker, angka keberhasilan terapi diharapkan meningkat.
Edukasi pada pasien TB juga dilakukan oleh 23 Apoteker Aceh Besar pada Jum’at, 18 Oktober 2024, di Desa Ajee Pagar Air, Kecamatan Ingin Jaya. Seluruh Apoteker yang hadir dibagi menjadi tujuh tim, dengan masing-masing tim berjumlah tiga orang yang akan bertamu ke rumah warga untuk melakukan edukasi terkait TB dalam rangka World Pharmacists Day 2024.
https://iainews.net/masyarakat-sehat-apoteker-bahagia-edukasi-tuberkulosis-di-hari-apoteker-sedunia/
Layanan Apoteker dalam Pelayanan TB
Materi workshop juga menyoroti bentuk nyata peran apoteker dalam pelayanan TB, antara lain:
1.Pengkajian dan Pelayanan Resep
Melalui e-Puskesmas dan sistem resep elektronik, apoteker memastikan dosis, jenis obat, dan potensi interaksi sesuai standar terapi TB.
2. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Edukasi pasien dilakukan dengan berbagai media seperti brosur, aplikasi Tanya Obat, program ESPRESO (Edukasi Apoteker Seputar Obat), hingga kanal digital seperti website Masyarakat Peduli Perbekalan Farmasi (Madu Besi).
3. Pemantauan Efek Samping Obat (MESO)
Apoteker aktif melaporkan dan memantau efek samping obat melalui sistem nasional e-MESO, email pelaporan, maupun survei berbasis formulir daring.
4. Pemantauan Terapi Obat
Apoteker memantau keteraturan minum obat pasien dengan spreadsheet terintegrasi, grup WhatsApp “Jika Satu Tetap Kuat Kita Bersinar”, hingga laporan rutin agar tidak ada pasien yang putus berobat.
5. Home Pharmacy Care
Bagi pasien yang sulit mengakses layanan, apoteker melakukan kunjungan rumah untuk memastikan terapi tetap berjalan sesuai rencana.
Strategi dan Inovasi Menjadi Kunci
Pelayanan farmasi biasa saja tidak cukup. Di Puskesmas Cakung, strategi dan inovasi dikembangkan melalui:
- Support System
Dukungan menyeluruh dari pemerintah, tenaga kesehatan, keluarga, serta komunitas masyarakat menjadi penguat utama. Inisiatif kreatif seperti Pharmavenger (Farmasi Avenger) hadir sebagai bentuk kolaborasi lintas sektor dalam mengampanyekan kepatuhan berobat.
- Self-Efficacy
Apoteker berperan membangun keyakinan diri pasien melalui konseling sesuai kebutuhan, pendekatan ramah (hospitality), serta penyediaan media edukasi inklusif seperti flash card untuk tuna rungu dan label braille untuk tuna netra. Program INTI KOMPAS (Edukasi Farmasi Tiada Henti Komunikasi Masyarakat Pasien Disabilitas) menjadi salah satu contoh inovasi untuk menjangkau semua lapisan pasien.
- Utilization of Technology
Pemanfaatan teknologi dilakukan dengan penggunaan aplikasi, database digital, hingga media visual. Edukasi berbasis media visual terbukti meningkatkan motivasi dan pengetahuan pasien. Selain itu, telepharmacy “Si Tayo” dikembangkan untuk memperluas akses konseling obat secara daring. Spreadsheet digital monitoring TB juga digunakan untuk melacak kepatuhan minum obat pasien secara real-time.
Penutup
Data dari Cakung menjadi pengingat bahwa kasus TB masih tinggi, namun upaya kolaboratif tenaga kesehatan, keluarga, dan masyarakat dapat memutus rantai penularan sekaligus memastikan pasien menyelesaikan pengobatan. Apoteker, dengan empati, edukasi, dan komunikasi yang tepat, berperan vital dalam meningkatkan kepatuhan terapi pasien TB.
Melalui pelayanan yang komprehensif—mulai dari pengkajian resep, informasi obat, pemantauan efek samping, hingga strategi inovatif berbasis teknologi—apoteker hadir bukan sekadar sebagai pemberi obat, tetapi sebagai pendamping perjalanan kesembuhan pasien.
“Mari bersama menjadi apoteker yang peduli, berempati, dan berkolaborasi dalam meningkatkan kepatuhan serta kepercayaan diri pasien dan masyarakat dalam eliminasi tuberkulosis,” demikian pesan apt. Windi Wikandari menutup sesi workshop.