Makassar, IAINews – Menuju Kemandirian Farmasi Nasional, penggunaan produk dalam negeri semakin meningkat. Upaya ini kembali ditegaskan dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia (PIT IAI) 2025 yang berlangsung di Hotel Claro Makassar, 28-30 Agustus 2025. Pada forum ilmiah yang mengangkat tema besar “Navigating the Future of Pharmacy: Performance, Innovation, and Collaborative Transformations in Healthcare”, sesi presentasi mengenai “Menuju Kemandirian Farmasi Nasional, Analisis Belanja Sediaan Farmasi Produksi Dalam Negeri di Rumah Sakit Vertikal Kemenkes RI” menjadi salah satu sesi yang menarik bagi peserta pertemuan.
Presentasi ilmiah ini disampaikan secara oral pada Jum’at, 29 Agustus 2025 oleh Erie Gusnellyanti, S.Si., Apt., MKM, Ketua Tim Kerja Analisis Farmakoekonomi dan Obat Inovatif, Direktorat Produksi dan Distribusi Farmasi, Kementerian Kesehatan RI. Diskusi dipandu oleh apt. Benni Iskandar, S.Farm., M.Si., Ph.D. sebagai moderator. Materi tersebut merupakan hasil analisis terhadap data belanja farmasi Rumah Sakit Vertikal melalui e-katalog sektoral Kesehatan periode 2021–2023, yang merupakan bagian dari upaya peningkatan kemandirian farmasi Nasional.
Kebijakan Nasional: Prioritas Produk Dalam Negeri
Dalam paparannya, apoteker yang akrab disapa Nelly ini menekankan bahwa analisis belanja farmasi di Rumah Sakit Vertikal berangkat dari berbagai regulasi yang menegaskan prioritas penggunaan produk dalam negeri (PDN) dalam kerangka kemandirian farmasi. Sejumlah aturan yang menjadi payung hukum telah diterbitkan pemerintah antara lain:
- UU No. 3 tahun 2014 tentang Perindustrian yang mewajibkan untuk menggunakan produk dalam negeri dalam setiap pengadaan barang/jasa.
- PP No. 29/2018 tentang Pemberdayaan Industri menyebutkan peningkatan penggunaan PDN meliputi: Kewajiban penggunaan PDN, TKDN, penghargaan atas penggunaan PDN.
- Perpres 16/2018 jo 12/2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mewajibkan pengadaan barang/jasa pemerintah menggunakan produk dalam negeri.
- Ka LKPP No. 122/2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Katalog Elektronik juga mewajibkan produk dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Sejumlah regulasi tersebut ditegaskan kembali melalui Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2022 tentang percepatan peningkatan penggunaan produk dalam negeri, khususnya dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Demikian pula pada UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan PP No. 28 Tahun 2024, yang mewajibkan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan produksi dalam negeri dengan tetap menjunjung aspek mutu, keamanan, dan kemanfaatan.
Tidak cukup dengan itu, Menteri Kesehatan pun menetapkan KMK No. HK.01.07/MENKES/1333/ 2023 yang mewajibkan penggunaan sediaan farmasi dengan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) minimal 52% untuk obat dan obat bahan alam, serta 70% untuk vaksin dan serum.
“Rumah sakit vertikal sebagai unit pelayanan rujukan nasional berada di garis depan dalam implementasi kebijakan ini. Sebagai institusi pemerintah pusat, mereka diharapkan menjadi teladan dalam penggunaan produk farmasi buatan dalam negeri, sehingga dapat mewujudkan kemandirian farmasi Nasional” ujar Nelly, yang merupakan alumni S1 Farmasi dan apoteker Universitas Andalas, dan Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
https://iainews.net/produk-dalam-negeri-didorong-di-fasilitas-kesehatan/
Temuan Analisis: Belanja Rp2,6 Triliun untuk Produk Dalam Negeri di Rumah Sakit
Analisis terhadap data e-purchasing LKPP menunjukkan bahwa total belanja sediaan farmasi produksi dalam negeri di Rumah Sakit Vertikal Kemenkes RI selama periode 2021–2023 mencapai Rp2,6 triliun atau 40,67% dari total belanja farmasi pada katalog sektoral kesehatan.
Berdasarkan kelas terapi, belanja PDN terbesar secara nilai rupiah (by value) terdapat pada kelas terapi L01 antineoplastic agents. Namun, terlihat bahwa produk impor masih mendominasi dengan perbandingan 6,01% belanja untuk PDN berbanding jauh dengan 14,89% untuk impor.
Dari hasil analisis tersebut, terlihat tren positif pada kelompok sediaan farmasi dengan nilai TKDN 25%–52%, yang menunjukkan peningkatan konsisten, 29,43% pada 2021, 31,03% pada 2022 dan 35,90% pada 2023.
Data ini mengindikasikan bahwa secara perlahan terjadi substitusi produk impor dengan produk dalam negeri yang memiliki TKDN lebih tinggi.
Capaian Tiga Rumah Sakit Vertikal
Dalam analisis lebih lanjut, ditemukan bahwa ada tiga rumah sakit vertikal yang mencatat peningkatan signifikan pada belanja farmasi berbasis produk dalam negeri:
- RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro, dengan kenaikan proporsi TKDN > 52% tertinggi, yaitu 3,28% dari 2022 ke 2023.
- RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, yang mencatat peningkatan 2,78%.
- RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, dengan kenaikan sebesar 2,86%.
Capaian tersebut menunjukkan adanya komitmen kuat dari sejumlah rumah sakit besar untuk berperan aktif dalam mendukung kemandirian farmasi nasional.
Tantangan dan Harapan
Meski angka peningkatan cukup menjanjikan, Nelly menegaskan bahwa ketergantungan pada produk impor masih menjadi tantangan besar.
“Upaya peningkatan penggunaan sediaan farmasi dalam negeri harus terus dilakukan secara berkelanjutan dan lebih intensif. Ini bukan hanya soal kebijakan, tetapi soal keberlanjutan industri farmasi nasional,” tegas Nelly di hadapan peserta yang hadir di ruang Cattaleya pada sesi paling pagi tersebut.
Moderator apt. Benni Iskandar menambahkan, isu ini tidak hanya relevan bagi pemerintah, tetapi juga bagi tenaga kesehatan. “Apoteker sebagai garda depan pelayanan farmasi memiliki peran strategis untuk mengedukasi pasien sekaligus mendorong kepercayaan terhadap produk dalam negeri, termasuk penyiapan bahan baku obat dalam negeri di sarana produksi dalam negeri” ujarnya.
Sesi diskusi yang berlangsung interaktif menunjukkan antusiasme peserta. Beberapa pertanyaan yang muncul antara lain mengenai langkah konkret pemerintah untuk mempercepat penayangan produk dalam negeri di e-katalog sektoral, serta bagaimana peran industri farmasi swasta dalam mendukung target TKDN.
“Bagaimana langkah Pemerintah selanjutnya dalam menjamin bahwa produk dalam negeri dapat digunakan di fasilitas pelayanan kesehatan?” tanya apt. Ari Budiyanto, salah satu peserta yang hadir.
Dijelaskan bahwa pemerintah mengupayakan agar belanja sediaan farmasi melalui sistem e-katalog diutamakan untuk produk dalam negeri. Sehingga, jika sudah tersedia produk dalam negeri, maka secara otomatis fasilitas kesehatan akan membelinya. Namun diakuinya, pilihan jenis sediaan farmasi produksi dalam negeri belum begitu banyak dibandingkan produk impor.
Menuju Gerakan Nyata Bangga Buatan Indonesia
Sesi ini menegaskan kembali komitmen Kementerian Kesehatan untuk mendukung Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI), khususnya di sektor farmasi. Data empiris dari Rumah Sakit Vertikal menjadi bukti bahwa kebijakan menuju kemandirian farmasi mulai menunjukkan hasil nyata, meski masih banyak ruang untuk perbaikan.
Dengan adanya peningkatan belanja sediaan farmasi produksi dalam negeri dari tahun ke tahun, diharapkan sektor farmasi nasional semakin mandiri dan berdaya saing. Sinergi antara pemerintah, rumah sakit, akademisi, apoteker, dan industri farmasi lokal menjadi kunci keberhasilan.
Untuk mengevaluasi lebih lanjut implementasi kebijakan penggunaan sediaan farmasi produksi dalam negeri, dilakukan survei pada rumah sakit dan Dinas Kesehatan.
Dari presentasi ini, jelas terlihat bahwa strategi menuju kemandirian farmasi nasional bukan sekadar wacana, melainkan gerakan nyata yang terus diperkuat dengan data, regulasi, dan dukungan semua pihak.