Informasi
Hubungi Redaksi IAINews melalui email : humas@iai.id
Floating Left Ads
Floating Right Ads
banner 950x90

Eksistensi Apoteker Pada Praktik Swamedikasi

IMG 20250706 WA0030
banner 120x600
banner 468x60

APA itu swamedikasi? Ketika kita berbicara mengenai obat tidak sesederhana asumsi orang kebanyakan. “’Sakit, beli lalu konsumsi’.

Satu hal yang tak bisa dipungkiri berkenaan dengan semakin terbukanya akses informasi di belantara media online terkait obat dan penyakit, adalah semakin meningkatnya kecenderungan sebagian orang untuk melakukan pengobatan diri sendiri guna meringankan penderitaan atau sakit yang dialaminya.

Iklan ×

Padahal semestinya, dalam penggunaaan obat haruslah dimiliki kesadaran, kepedulian, pengetahuan serta keterampilan tentang pemilihan dan penggunaan obat secara tepat dan rasional, bukan semata mata karena merasa sakit lantas serta merta mengkonsumsi obat-obatan.

IMG 20250706 WA0030

Justru pada penggunaan obat yang tidak tepat dan atau berlebihan  akan berdampak kurang baik untuk kesehatan itu sendiri.

Di mata apoteker, obat sejatinya merupakan produk dengan resiko sangat tinggi untuk dikonsumsi, karena berhubungan dengan nyawa manusia. All Medicine is Poison! Semua Obat adalah Racun !

Yah, selain penyembuh, obat adalah racun,  yang membedakan adalah dosisnya, obat akan menjadi racun  jika dikonsumsi tidak sesuai dosis dan anjuran pakai.

Batasan Swamedikasi

Meskipun mendapatkan ruang dalam dunia pengobatan, pengobatan diri sendiri atau lebih dikenal dengan istilah ‘swamedikasi’ haruslah tetap dilakukan dalam batasan tertentu saja.

Swamedikasi hanya boleh dilakukan untuk kondisi penyakit yang ringan, umum dan tidak akut.

Baca Juga  Peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-60 di Kabupaten Wajo: Gerak Bersama Sehat Bersama

Bukan berarti asal mengobati, seseorang harus mencari informasi obat yang sesuai dengan penyakitnya.

Setidaknya ada 5 komponen informasi yang diperlukan untuk swamedikasi yang tepat dalam menggunakan obat, yaitu :  1. Pengetahuan tentang kandungan aktif obat (isinya apa?), 2. Indikasi (untuk mengobati apa?), 3. Dosis (seberapa banyak?, 4. Seberapa sering?), dan 5. Effek samping, dan kontra indikasi (siapa/ kondisi apa yang tidak boleh minum obat itu?).

Merujuk pada permekes No.919/Menkes/PER/X/1993, pengobatan diri sendiri atau yang dikenal dengan istilah ‘swamedikasi’ secara sederhana diartikan sebagai upaya seseorang dalam mengobati gejala sakit atau penyakit tanpa berkonsultasi dengan dokter (mendapatkan resep) terlebih dahulu.

Dalam permenkes tersebut diatas, disebutkan bahwa obat yang dapat digunakan tanpa resep dokter meliputi obat bebas tak terbatas (tanda lingkaran hitam, dasar hijau),  obat bebas terbatas (tanda lingkaran hitam, dasar biru),  Obat Wajib Apotek (OWA) yakni obat keras tanpa resep dokter (tanda lingkaran hitam, dasar merah), serta suplemen makanan.

Lebih lanjut dijelaskan pula kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep yaitu tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.

Baca Juga  Rahasia Mengejutkan untuk Mencegah Osteoporosis

Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit, penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan, penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan, penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia, serta obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

Selain Permenkes No. 919 di atas, terdapat pula regulasi terkait lainnya yang patut menjadi acuan, diantaranya :

Permenkes No. 919/MENKES/PER/X/1993: Mengatur kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep, yang merupakan dasar dari praktik swamedikasi.

– Permenkes No. 34/2021: Mengatur Standar Pelayanan Kefarmasian di Klinik, yang juga mencakup pelayanan swamedikasi.

– Permenkes No. 73/2016: Mengatur Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yang juga berkaitan dengan pelayanan swamedikasi.

– Permenkes No. 35/2014: Mengatur Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yang juga berkaitan dengan pelayanan swamedikasi.

Peran Apoteker

Mengandalkan informasi dari iklan tv dan media cetak, rekomendasi dari teman atau keluarga, membaca mandiri artikel di media online, tentu tidaklah dianggap cukup untuk melakukan swamedikasi, tanpa melakukan validasi terhadap informasi tersebut.

Baca Juga  Rayakan HUT IAI ke-70, PC IAI Padang-Mentawai Gelar Pengabdian Masyarakat

KeberadaannApoteker dengan kapasitas keilmuan yang dimilikinya dapat memberikan informasi obat yang objektif dan rasional.

Dalam hal ini, apoteker-lah yang diharapkan bisa berperan banyak dalam mengedukasi masyarakat terkait penggunaan obat.

Sejumlah terobosan terus dihadirkan untuk lebih mendekatkan “sosok” apoteker ditengah tengah masyarakat.

Taruh saja misalnya Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian – Kemenkes dengan program GeMa CerMat (Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat), atau Organisasi Profesi Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dengan Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO) dengan jargon Dagusibu (Dapatkan, Gunakan, Simpan, dan Buang).

Apoteker Indonesia sedang bergerak serempak. Masyarakat mulai familier dengan penyuluhan, pelatihan,  workshop, maupun kampanye terkait penggunaan obat yang dilakukan oleh apoteker.

Selain kehadiran di sarana apotek, apoteker juga sudah lebih berperan aktif dalam mengedukasi ditengah tengah masyarakat, bersentuhan langsung dengan mereka.

Dengan memberikan edukasi kepada masyarakat luas terhadap penggunaan obat, setidaknya efek positifnya dapat diukur dengan semakin meningkatnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya penggunaan obat secara benar.

Dengan edukasi diharapkan akan  meningkatkan kemandirian dan perubahan perilaku masyarakat dalam memilih dan menggunakan obat secara benar, serta meningkatnya penggunaan obat secara rasional.***

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

banner 950x90