TUBERKULOSIS (TB) masih menjadi ancaman serius di Indonesia, namun semangat untuk mencapai Zero TB—bebas TB—semakin menguat.
Di garis depan perjuangan ini, apoteker berperan sebagai garda terdepan, dan dukungan pemerintah menjadi kunci vital untuk mengoptimalkan kontribusi mereka.
Opini ini akan mengulas bagaimana sinergi antara pemerintah dan apoteker dapat mengakselerasi program Zero TB di Indonesia.
Pemerintah dan apoteker memiliki peran yang sangat penting dan saling melengkapi dalam menyukseskan program Zero TB.
Program Zero TB adalah sebuah inisiatif ambisius yang bertujuan untuk mengakhiri wabah tuberkulosis (TB) dan mencapai eliminasi TB.
Ini bukan hanya tentang mengobati pasien, tetapi juga mencegah penularan, menemukan kasus yang belum terdiagnosis, dan memastikan setiap orang yang membutuhkan pengobatan mendapatkannya.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kesehatan dan berbagai regulasi, telah menunjukkan dukungan yang signifikan terhadap peran apoteker dalam melawan tuberkulosis (TBC).
Dukungan ini diwujudkan dalam beberapa aspek kunci:
- Regulasi dan Kebijakan
Pemerintah Indonesia memiliki regulasi dan kebijakan yang mendukung peran apoteker dalam memberantas tuberkulosis (TB), mengingat pentingnya kepatuhan pasien dalam pengobatan TB yang jangka panjang. Peran apoteker sangat krusial dalam mencapai Zero TB di Indonesia.
Berikut adalah gambaran umum regulasi dan kebijakan pemerintah terkait peran apoteker dalam pemberantasan TB:
- Peraturan Perundang-undangan Umum:
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan: Undang-undang ini menjadi payung hukum umum untuk penyelenggaraan upaya kesehatan di Indonesia, termasuk penanggulangan penyakit menular seperti TB.
- Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan: Mendukung pencatatan dan pelaporan kasus TB yang penting untuk pemantauan program.
- Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek: Mengatur standar pelayanan yang harus diberikan apoteker di apotek, termasuk pelayanan informasi obat dan konseling, yang relevan dengan penanganan TB.
- Pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan yang menggarisbawahi peran apoteker dalam program TBC nasional. Misalnya, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, dan kemudian diperbarui dengan Perpres Nomor 67 Tahun 2021, secara eksplisit menyebutkan perlunya melibatkan semua pihak terkait, termasuk fasilitas pelayanan kesehatan swasta dan masyarakat, dalam penanggulangan TBC. Apoteker di apotek dan fasilitas kesehatan primer lainnya adalah bagian integral dari sistem ini.
Regulasi ini juga menekankan pentingnya:
a. Penyediaan Obat Anti-Tuberkulosis (OAT) yang cuma-cuma oleh pemerintah. Apoteker berperan dalam manajemen logistik dan distribusi OAT ini.
b. Pencatatan dan pelaporan kasus TBC, yang juga melibatkan apoteker dalam input data ke sistem informasi seperti Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB).
c. Pengobatan sesuai standar dengan konsep yang berpihak pada pasien. Di sinilah peran edukasi dan konseling apoteker menjadi sangat vital.
d. Kebijakan dan Pedoman Khusus Terkait TB:
- Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis: Pedoman ini, yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan, memuat panduan lengkap tentang diagnosis, pengobatan, dan penanggulangan TB di Indonesia. Di dalamnya, peran apoteker secara tidak langsung tercakup dalam berbagai aspek pelayanan kefarmasian.
- “Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberculosis Klinis” (Depkes RI, 2005): Meskipun merupakan dokumen yang lebih lama, pedoman ini secara spesifik menguraikan peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian untuk penyakit TB, termasuk edukasi kepatuhan, pemantauan efek samping, dan interaksi obat. Ini menjadi dasar penting bagi praktik apoteker dalam penanganan TB.
- Optimalisasi Apoteker dalam Pengendalian Tuberkulosis (Kemenkes RI): Kementerian Kesehatan secara aktif berupaya mengoptimalkan peran apoteker dalam pengendalian TB, seperti melalui kegiatan pertemuan dan pelatihan. Ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk melibatkan apoteker lebih lanjut.
- Petunjuk Teknis Pengelolaan Logistik Program Tuberkulosis (Kemenkes RI): Ini mengatur ketersediaan dan distribusi obat TB, di mana apoteker di fasilitas kesehatan memiliki peran penting dalam manajemen logistik obat.
Secara keseluruhan, pemerintah Indonesia melalui berbagai regulasi dan kebijakan telah menegaskan pentingnya peran apoteker dalam upaya penanggulangan TB. Fokusnya adalah pada pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien, terutama dalam memastikan kepatuhan pengobatan dan memberikan informasi yang akurat, untuk mencapai target eliminasi TB.
- Pelatihan dan Peningkatan Kapasitas
Pemerintah, seringkali bekerja sama dengan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), secara rutin menyelenggarakan pelatihan dan workshop untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan apoteker terkait TBC. Materi pelatihan mencakup:
Diagnosis TBC dan penemuan terduga TBC.
- Tatalaksana pengobatan TBC, termasuk efek samping dan interaksi obat.
- Komunikasi motivasi dan asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) untuk pasien TBC.
- Manajemen logistik program TBC.
- Pencegahan dan pengendalian infeksi TBC.
- Integrasi program TBC dengan program kesehatan lainnya.
Pelatihan ini bertujuan memastikan apoteker memiliki kompetensi yang memadai untuk menjalankan peran mereka secara efektif. Beberapa pelatihan bahkan sudah dirancang dalam bentuk daring (jarak jauh) untuk menjangkau lebih banyak apoteker di seluruh wilayah, termasuk di Makassar.
- Integrasi dalam Program Nasional (DOTS)
Meskipun program DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course) utamanya berpusat di puskesmas, pemerintah mendorong integrasi apoteker dalam kerangka ini. Apoteker diharapkan dapat:
- Menjadi bagian dari tim yang memastikan kepatuhan pasien menelan OAT, bahkan berpotensi sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO) terlatih.
- Membantu memantau efek samping dan memberikan solusi awal, yang jika tidak ditangani dapat menyebabkan pasien putus obat.
- Mendukung ketersediaan OAT dan sistem pencatatan yang akurat.
- Optimalisasi Peran di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
Pemerintah mengakui bahwa apotek dan fasilitas kesehatan primer lainnya adalah garda depan yang mudah diakses. Oleh karena itu, ada upaya untuk mengoptimalkan peran apoteker dalam deteksi dini, skrining, dan rujukan kasus TB di luar rumah sakit besar. Hal ini sejalan dengan strategi penguatan pelayanan kesehatan dasar dan upaya promotif-preventif.
- Dukungan Sistem Informasi
Pemerintah juga berinvestasi dalam sistem informasi kesehatan seperti Satu Sehat SDMK dan SISDMK yang diharapkan dapat diakses dan digunakan oleh apoteker. Sistem ini membantu dalam pelaporan kasus, manajemen data tenaga kesehatan, dan meningkatkan koordinasi antar fasilitas kesehatan.
Secara keseluruhan, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah konkret untuk memperkuat peran apoteker dalam penanggulangan TBC.
Namun, implementasi di lapangan mungkin masih menghadapi tantangan seperti pemerataan pelatihan, ketersediaan sumber daya, dan integrasi yang lebih erat dalam sistem rujukan.
Terus mendorong sinergi antara apoteker dan tenaga kesehatan lain akan menjadi kunci untuk mencapai Zero TBC di Indonesia.
Sinergi untuk Sukses Zero TB
Keberhasilan program Zero TB sangat bergantung pada sinergi yang kuat antara pemerintah dan apoteker.
Pemerintah menciptakan kerangka kerja dan dukungan, sementara apoteker adalah pelaksana di garis depan yang berinteraksi langsung dengan pasien dan masyarakat.
- Pemerintah memberdayakan apoteker melalui pelatihan, pedoman yang jelas, dan akses ke informasi dan sumber daya.
- Apoteker mendukung pemerintah dengan menjadi agen perubahan di komunitas, memastikan kepatuhan pasien, dan memberikan data yang akurat untuk pemantauan program.
Dengan kolaborasi yang erat ini, target Zero TB, yaitu dunia tanpa TB, di mana tidak ada yang menderita, meninggal, atau menghadapi konsekuensi sosial dan ekonomi karena penyakit ini, dapat dicapai.***