Informasi
Hubungi Redaksi IAINews melalui email : humas@iai.id
Floating Left Ads
Floating Right Ads
banner 950x90

Apoteker di Puskesmas, ”Gula dalam Kopi Layanan Kesehatan”

IMG 20250703 WA0027
banner 120x600
banner 468x60

DIBALIK meja pelayanan kesehatan di Puskesmas, ada sosok yang kehadirannya kerap tak disadari, padahal perannya terasa dan berdampak nyata: apoteker.

IMG 20250703 WA0027

Iklan ×

Seperti gula dalam secangkir kopi, ia tak tampak oleh mata, tapi kehadirannya memberi rasa. Tanpa gula, kopi hanya pahit.

Tanpa apoteker, pelayanan kesehatan di Puskesmas juga bisa kehilangan keseimbangannya.

Apoteker di Puskesmas bukan sekadar “penjaga obat.” Mereka adalah pilar yang menopang rasionalitas penggunaan obat, memastikan setiap resep yang diberikan pada pasien bukan hanya benar dosisnya, tapi juga aman, efektif, dan sesuai kebutuhan pasien.

Namun, sayangnya, peran ini kerap luput dari perhatian publik — bahkan dalam lingkup sistem kesehatan itu sendiri.

“Kalau tidak ada apoteker, siapa yang akan menjelaskan efek samping obat? Siapa yang memastikan pasien tuberkulosis (TB) tidak putus pengobatan karena efek mual atau muntah? Tapi kita tidak pernah disebut,” ujar Arman (bukan nama sebenarnya) seorang apoteker dari sebuah Puskesmas di daerah pinggiran Yogyakarta.

Apoteker memang hadir dalam alur layanan, tapi tak jarang terpinggirkan. Ketika pasien memuji dokter atas kesembuhan mereka, atau menyebut perawat yang ramah, nama apoteker jarang muncul. Padahal, mereka yang memastikan obat tersedia, dikemas dengan benar, disimpan pada suhu sesuai, dan dijelaskan penggunaannya dengan bahasa yang sederhana agar dipahami.

Baca Juga  Apoteker Berkolaborasi Mendukung Gerakan Indonesia Akhiri Tuberkulosis (GIAT) 2030.

Di tengah tantangan penyakit menular seperti TB, diabetes, dan hipertensi yang memerlukan pengobatan jangka panjang, apoteker berperan sebagai penjaga kepatuhan.

Mereka mengedukasi pasien agar tak sekadar minum obat, tapi juga memahami mengapa harus rutin, mengapa tidak boleh berhenti, dan apa yang harus dilakukan jika ada efek samping. Namun, peran edukatif ini masih minim mendapat panggung.

“Sering kali, kami baru dipanggil jika ada masalah dengan obat. Tapi kami bisa berperan jauh lebih awal, dalam tahap perencanaan terapi, monitoring, bahkan edukasi keluarga,” tambah Sonya (bukan nama sebenarnya) apoteker lainnya dari Sulawesi Selatan.

Fenomena ini mencerminkan persoalan sistemik: kurangnya pemahaman terhadap fungsi farmasi klinik di layanan primer.

Di beberapa daerah, apoteker masih ditempatkan sebagai tenaga administrasi, alih-alih sebagai tenaga kesehatan profesional yang sejajar dengan dokter dan perawat.

Contoh kasus TB yang merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi tantangan kesehatan global dan nasional. Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2023 dari World Health Organization (WHO. Global Tuberculosis Report 2022. Geneva: WHO,  2022.), jumlah kasus TB global diperkirakan mencapai 10,6 juta dengan lebih dari 1,3 juta kematian pada tahun 2022, menjadikan TB sebagai pembunuh infeksius nomor dua setelah Covid-19 (WHO, 2023).

Baca Juga  Meriah, Apoteker Seluruh Indonesia Merayakan HUT IAI ke-69

Puskesmas sebagai garda terdepan dilirik oleh pemerintah untuk memimpin program eliminasi TB Indonesia melalui Program Quick Win 2023–2024 mencakup enam pilar transformasi sistem kesehatan.

Salah satunya adalah penguatan layanan primer melalui digitalisasi pelayanan, pemberdayaan tenaga kesehatan, dan peningkatan tata kelola program penyakit menular termasuk TB (Kemenkes RI, 2023).

Salah satu fokus utama program ini adalah meningkatkan capaian case detection rate (CDR) TB hingga 90% dan treatment success rate (TSR) hingga 90% di seluruh puskesmas.

Sebagai bagian dari Transformasi Sistem Kesehatan yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan RI, program Quick Win TB tahun 2023–2024 berfokus pada penguatan layanan primer dan deteksi dini penyakit menular prioritas, salah satunya TB.

Tujuannya adalah mendongkrak case detection rate (CDR) menjadi minimal 90%, treatment initiation sebesar 100%, serta treatment success rate (TSR) minimal 90% pada 2024 di seluruh puskesmas prioritas (Kemenkes RI, 2023).

Disinilah peluang dan tantangan bagi apoteker untuk berkiprah lebih baik dan mempromosikan dirinya bahwa keberadaannya di puskesmas layak untuk dihargai sesuai tanggungjawabnya.

Angin perubahan mulai terasa. Program seperti “Pharmacist-Led Services” dan inisiatif integratif seperti PALAPA TB (Pharmacist-Led Approach for Patient Adherence for Tuberculosis Treatment) mulai menggugah kesadaran akan pentingnya peran apoteker dalam mendampingi pasien, terutama untuk meningkatkan kepatuhan dan mencegah resistensi obat.

Baca Juga  Universitas Almarisah Madani Gelar Bakti Sosial Pemeriksaan Kesehatan Kolaborasi PD IAI Sulsel di Bone

Walaupun program ini masih berupa pilot project penelitian seorang apoteker yang sedang menempuh pendidikan doktoral Ilmu Farmasi dari kampus kuning Indonesia, namun cercah harapan perubahan itu nyata terasa.

Penelitian dan pilot project serupa tentunya sangat dibutuhkan untuk makin mendukung arah perubahan terhadap penilaian keberadaan apoteker di puskesmas.

Apoteker, dalam hal ini, bukan hanya penyedia obat, tetapi penjaga keberlanjutan terapi. Di Puskesmas yang padat pasien, mereka adalah pengurai benang kusut antara obat, manusia, dan harapan untuk sembuh.

Maka, tak berlebihan jika mereka disamakan dengan gula dalam kopi: tak terlihat, namun berasa. Kita minum obat, sembuh, dan melanjutkan hidup—tanpa sadar bahwa ada tangan dingin yang bekerja dalam diam.

Saatnya peran apoteker di Puskesmas tak lagi disamakan dengan “yang manis tapi tak disebut.” Saatnya mereka duduk setara, berdiri di garis depan pelayanan kesehatan bersama tenaga kesehatan lainnya.

Karena kesehatan bukan hanya soal diagnosa dan tindakan, tapi juga soal kepastian: bahwa obat yang kita konsumsi adalah harapan, bukan sekadar kebetulan.***

 

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

banner 950x90