DALAM setiap situasi bencana, keterlibatan tenaga kesehatan menjadi komponen vital dalam menjaga keselamatan dan kesehatan masyarakat terdampak. Salah satu elemen penting yang kerap luput dari sorotan adalah peran tenaga kefarmasian, baik apoteker maupun tenaga teknis kefarmasian.
Mereka memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan ketersediaan, keamanan, dan distribusi obat serta perbekalan kesehatan di seluruh fase manajemen bencana: prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana.
Menurut Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana yang diterbitkan Kementerian Kesehatan RI, kebutuhan ideal dalam tim penanggulangan bencana adalah dua orang apoteker untuk setiap 10.000 hingga 20.000 penduduk atau pengungsi.
Ini menegaskan bahwa tenaga kefarmasian merupakan bagian tak terpisahkan dalam struktur tanggap darurat nasional.
Apoteker Tanggap Bencana: Menjawab Kebutuhan Nyata di Lapangan
Salah satu langkah nyata hadirnya tenaga kefarmasian di tengah masyarakat adalah melalui program Apoteker Tanggap Bencana (ATB) yang digagas oleh Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Melalui program ini, apoteker hadir langsung di posko kesehatan hingga ke tenda-tenda pengungsian, memberikan pelayanan farmasi secara langsung kepada korban bencana.
Menurut Federasi Apoteker Internasional (FIP), apoteker berperan dalam dua hal utama saat terjadi bencana:
- Pengelolaan logistik farmasi termasuk perencanaan, penyediaan, penyimpanan, dan distribusi obat dan alat kesehatan.
- Manajemen terapi pasien, yaitu pemantauan penggunaan obat, edukasi pasien, serta evaluasi keamanan dan efektivitas terapi.
Tahapan Peran Tenaga Kefarmasian dalam Penanggulangan Bencana
1. Tahap Prabencana
Pada tahap ini, apoteker dan tenaga teknis kefarmasian bertanggung jawab merancang sistem stok obat dan perbekalan kesehatan darurat. Ini termasuk memilih jenis obat yang tepat untuk kondisi bencana, seperti obat diare, ISPA, demam berdarah, tetanus, hingga obat stres dan gangguan jiwa ringan. Selain itu, mereka juga merancang sistem pelabelan, pengemasan, hingga penyimpanan yang sesuai standar kondisi darurat.
2. Tahap Tanggap Darurat
Saat bencana terjadi, kecepatan dan ketepatan distribusi obat menjadi krusial. Tenaga kefarmasian memastikan tersedianya obat di lokasi terdampak, bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain dalam penanganan korban, serta memonitor efek samping obat yang mungkin terjadi.
Apoteker juga memberikan edukasi dan konseling kepada penyintas bencana, khususnya terkait penggunaan obat-obatan darurat.
Lebih jauh, apoteker turut serta dalam mengantisipasi perubahan pola penyakit akibat bencana dan mencari solusi farmasi yang tepat, termasuk menjaga agar instalasi farmasi tetap beroperasi meskipun dalam kondisi darurat.
3. Tahap Pascabencana
Pada tahap ini, tenaga kefarmasian kembali menjalankan peran pentingnya, yakni melakukan evaluasi penggunaan obat, mengidentifikasi efek samping, serta memantau kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
Apoteker juga terlibat dalam konseling psikologis dan pengawasan terapi jangka panjang, guna memastikan korban bencana mendapatkan pemulihan kesehatan yang menyeluruh.
Dalam situasi khusus seperti pandemi, peran apoteker semakin luas. Mereka menjadi garda terdepan dalam memberikan edukasi mengenai pencegahan, deteksi dini penyakit, hingga vaksinasi, serta membantu pengendalian penyebaran penyakit melalui pendekatan farmasi komunitas.
Tantangan Pengelolaan Stok Obat Saat Bencana
Salah satu tantangan besar yang kerap dihadapi dalam situasi bencana adalah keterbatasan stok obat di lapangan. Tak jarang, pasien yang membutuhkan perawatan harus menunggu akibat stok obat yang tidak tersedia di rumah sakit, puskesmas, atau posko kesehatan.
Namun demikian, berkat inisiatif dari relawan, tim medis, serta organisasi profesi seperti IAI, kebutuhan darurat ini dapat dijawab dengan cepat melalui program bantuan dan distribusi darurat obat-obatan dan alat kesehatan.
Mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan No. 59 Tahun 2011, telah diatur mekanisme buffer stok obat di tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional. Stok ini disiapkan untuk kondisi bencana guna menjamin ketersediaan obat minimal selama 72–96 jam pertama sejak kejadian, sebelum bantuan tambahan datang.
Obat-obatan yang wajib tersedia mencakup obat untuk penyakit umum saat bencana seperti diare, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), hipertensi, kurang gizi, penyakit kulit, tetanus, tifoid, DBD, campak, hingga gangguan stres pascatrauma.
Sumber stok obat dapat berasal dari instalasi farmasi rumah sakit (IFRS), apotek komunitas, hingga distributor farmasi di sekitar wilayah terdampak.
Penutup: Apoteker, Garda Terdepan dalam Krisis Kesehatan
Kehadiran tenaga kefarmasian dalam penanggulangan bencana bukan hanya sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan strategis dalam menjamin keberlanjutan layanan kesehatan.
Dengan pengetahuan farmakologis, keterampilan distribusi logistik medis, serta peran edukatif yang dimiliki, apoteker dan tenaga teknis kefarmasian menjadi pilar penting dalam memastikan bahwa obat dan perbekalan kesehatan tersedia, aman, dan digunakan secara tepat.
Sinergi antara pemerintah, organisasi profesi, dan relawan kefarmasian menjadi kunci utama dalam membangun sistem tanggap bencana yang tangguh, responsif, dan berkelanjutan.