Informasi
Hubungi Redaksi IAINews melalui email : humas@iainews.net
Floating Left Ads
Floating Right Ads
banner 950x90

Mengurai Peran Apoteker dalam Penanggulangan Resistensi Antimikroba

Apoteker di apotek
apt. Dewa Ayu Putu Satrya Dewi, S.Farm., M.Sc. Owner dan Apoteker Penanggung Jawab Apotek Satrya Pharmacy Alamat Jl. Pangkung Sari No. 27 Kerobokan Kabupaten Badung, Bali
banner 120x600
banner 468x60

DILANSIR dari sebuah media daring pada akhir November 2024 yang lalu, dr. Taruna Ikrar, M.Biomed., MD., Ph.D selaku Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan peringatan bagi apoteker untuk mengikuti aturan agar hanya memberikan obat antimikroba sesuai dengan resep dokter.

Pernyataan tersebut dinilai terlalu menyederhanakan permasalahan yang terjadi pada kasus resistensi antimikroba yang terjadi di negara ini.

Iklan ×

Apoteker adalah tenaga kefarmasian yang bertanggung jawab terhadap berbagai aspek dalam penyediaan obat mulai dari produksi obat (hulu) hingga pemberian obat pada pasien (hilir).

Apoteker di apotek
apt. Dewa Ayu Putu Satrya Dewi, S.Farm., M.Sc.
Owner dan Apoteker Penanggung Jawab Apotek Satrya Pharmacy
Alamat Jl. Pangkung Sari No. 27 Kerobokan Kabupaten Badung, Bali

Dalam upaya penanganan pencegahan resistensi antimikroba, apoteker yang berada di pelayanan menjadi salah satu garda terdepan yang terlibat dan bertanggung jawab bersama dengan tenaga kesehatan lainnya.

Namun, perlu diketahui bahwa apoteker yang bekerja di bidang pelayanan terbagi menjadi dua, yaitu yang bertugas di Rumah Sakit atau Klinik, Puskesmas, dan yang bertugas di Apotek Komunitas.

Fungsi apoteker di berbagai sarana tersebut akan sangat menentukan bagaimana peran apoteker dalam upaya menanggulangi resistensi antimikroba.

Permasalahan yang diungkapkan oleh Kepala BPOM tersebut terutama ditujukan kepada apoteker yang bertugas di Apotek Komunitas.

Permasalahan ini juga tidak berdiri sendiri atau baru muncul belakangan ini. Penggunaan antibiotik tanpa resep sudah lama terjadi di masyarakat yang merasa bahwa dengan menggunakan antibiotik maka penyakit yang sedang dialami akan cepat sembuh.

Sugesti yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat awam ini justru perlu menjadi salah satu perhatian utama karena mengindikasikan edukasi tentang penggunaan antimikroba yang tepat dan rasional masih belum berhasil dilakukan dengan menyeluruh.

Dalam dunia pelayanan kefarmasian di komunitas sendiri sebenarnya terdapat permasalahan yang tak dapat dipungkiri, yaitu kemandirian apoteker dalam menentukan obat yang bisa dijual di apotek.

Pada apotek-apotek yang pemilik modalnya bukan apoteker, terdapat permintaan atau bahkan tuntutan dari pemilik modal atau investor untuk mendapatkan omset yang tinggi.

Tuntutan ini bisa terejawantahkan dari permintaan untuk menjual obat seperti antimikroba tanpa resep.

Posisi apoteker yang tidak setara dengan pemilik modal atau investor, menyebabkan apoteker sulit untuk memberikan ketegasan untuk melarang penjualan antimikroba tanpa resep.

Baca Juga  HADIRI RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM BALEG DPR RI

Meskipun Kementerian Kesehatan melaporkan di berbagai pertemuan tentang pengeluaran antimikroba dari apotek komunitas tanpa resep, tapi belum ada langkah kongkrit baik dari Kementerian Kesehatan maupun BPOM untuk mempertemukan apoteker dan investor apotek.

Pertemuan ini untuk memberikan pemahaman yang sama dan kesepakatan untuk tidak menjual antimikroba tanpa resep ini bisa dicapai.

Data yang disampaikan dalam berbagai pertemuan tersebut memang menjadi pemantik diskusi dan telaah lebih lanjut di organisasi profesi.

Tanpa intervensi dari pemerintah, maka akan sulit menyelaraskan pandangan antara investor yang bukan merupakan orang yang bergelut di bidang kesehatan dengan apoteker yang menjadi penanggung jawab apotek.

Terlepas dari masalah yang terjadi di apotek komunitas, sebenarnya apoteker yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya justru berperan penting dalam penanggulangan resistensi antimikroba.

Apoteker yang bertugas di rumah sakit, misalnya, mendapat amanah dari pemerintah melalui Permenkes No 8 tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di RS.

Berdasarkan Permenkes tersebut setiap rumah sakit bekewajiban membentuk Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) yang beranggotakan klinisi, apoteker, dokter pemberi layanan mikrobiologi klinik, perawat dan tenaga ahli teknologi informasi.

KPRA berkewajiban untuk mengendalikan penggunaan antimikroba di rumah sakit.

Rumah sakit merupakan pelayanan rujukan sehingga menjadi tantangan tersediri bagi rumah sakit dalam memberikan pelayanan terbaik kepada pasien dan tetap berpedoman pada penggunaan antibiotik bijak demi mencegah resistensi antimikroba.

Dalam hal ini apoteker juga menjadi bagian yang sama pentingnya dengan profesi lain.

Peran tersebut diantaranya apoteker bersama dengan klinisi mengendalikan penggunaan antibiotik golongan reserve, watch, dan access.

Selain itu, apoteker juga bertugas memberikan informasi dan konsultasi kepada pasien dan tenaga kesehatan lainnya.

Berdasarkan rencana aksi global WHO dalam pengendalian resistensi antimikroba dikelompokkan kedalam 3 kategori yaitu: Access, Watch, dan Reserve.

Tujuan pengelompokkan tersebut adalah memudahkan penerapan penatagunaan antibiotik baik di tingkat lokal, nasional maupun global; menekan munculnya bakteri yang resisten terhadap antimikroba; dan menjaga kelestarian antimikroba untuk jangka panjang.

Baca Juga  Meriahkan HKN Ke-60: HIMASTRA PD IAI SULSEL Gelar Penyuluhan Tanaman Obat Keluarga dan Akupresur di Gowa

Antimikroba kelompok Access merupakan antibiotik yang tersedia disemua fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk infeksi bakteri dan diresepkan oleh dokter, dokter gigi dan dokter spesialis yang kemudian resepnya akan dikaji oleh apoteker.

Kelompok antimikroba ini contohnya seperti amoksisilin, amoksisilin-asam klavulanat, klindamisin, dan lainnya.

Antimikroba kelompok Watch merupakan antibiotik yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut yang digunakan untuk indikasi khusus atau ketika antimikroba kelompok Access tidak efektif.

Antibiotik kelompok ini diresepkan oleh dokter spesialis, dokter gigi spesialis dan dikaji oleh apoteker.

Kelompok ini memiliki kemampuan tinggi dan berpotensi menimbulkan resisten sehingga menjadi target dalam pengawasan dan pemantauan penggunaannya oleh KPRA.

Contoh antibiotik kelompok Watch adalah Amikasin, Fosfomisin, Levofloxacin, dan Cefixime.

Sementara itu, antimikroba kelompok Reserve merupakan antimikroba yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut.

Antimikroba kelompok reserve ini dicadangkan untuk mengatasi infeksi bakteri yang disebabkan oleh MDRO (Multi-Drug Resistant Organisms), sebagai pilihan terakhir pada infeksi berat yang mengancam jiwa.

Antimikroba reserve menjadi prioritas program pengendalian resistensi antimikroba secara nasional dan internasional yang dipantau dan dilaporkan penggunaanya.

Penggunaannya diresepkan oleh dokter spesialis dan dokter gigi spesialis dikaji oleh apoteker dan disetujui penggunaannya oleh KPRA.

Contoh obat dari golongan tersebut adalah Meropenem, Doripenem, Imipenem, Linezoid, vancomisin, dan lainnya

Dalam pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba ditemukan beberapa tantangan.

Tantangan itu di antaranya adalah penggunaan antibiotik yang tidak rasional seperti pada pasien dengan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi dan penggunaan antibiotik dalam durasi yang lama.

Untuk mengatasi hal ini dibutuhkan komitmen pimpinan dalam hal ini Direktur RS dalam menjalankan program pengendalian resistensi antimikroba.

Selain di Rumah Sakit, apoteker juga berperan di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya seperti di Puskesmas.

Peran apoteker di puskesmas tentunya akan sangat membantu dalam mengendalikan resistensi antimikroba mengingat di puskesmas belum adanya bagian yang bertanggung jawab dalam mengendalikan pengguaan antibiotik.

Ketersediaan antibiotik di puskesmas juga menjadi hal penting dalam penanganan kasus infeksi, namun rasionalitas penggunaanya belum diketahui dikarenakan keterbatasanya data rasionalitas penggunaan antibiotik di puskesmas, hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah.

Baca Juga  PD IAI Kaltim Beri Dukungan Musyawarah Nasional ke-XX Ismafarsi di Samarinda

Puskesmas juga menjadi bagian penting dalam mengendalikan resistensi antimikroba.

Permasalahan yang timbul pada kasus resistensi sebenarnya adalah penggunaan antibiotik terlalu lama.

Ini dijumpai pada saat ketika apoteker menggali riwayat penggunaan antimikroba di fasilitas kesehatan termasuk catatan di rekam medis rumah sakit.

Adanya juga penggunaan antimikroba namun tidak adanya tanda tanda infeksi.

Hal ini,  diperlukan kebijakan dalam sistem otomatis perhentian waktu penggunaan antibiotik (automatic stop order) untuk mencegah resistensi.

Agar tidak terjadi salah menyalahkan di lapangan, sebenarnya pemerintah dapat bekerja berdasarkan data.

Kami mengusulkan beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemangku kepentingan, misalnya mengumpulkan data di apotek komunitas dengan membandingkan jumlah resep antibiotik, dan jumlah serta jenis obat antibiotik yang keluar.

Kemudian, pemerintah juga mengambil data dari rumah sakit dan klinik dari jenis dan jumlah serta frekuensi pengeluaran antibiotik yang ada apakah sudah sesuai panduan atau tidak.

Gabungan kedua data ini dapat dipublikasikan dalam satu laporan komprehensif yang dicetak dan dibagikan kepada berbagai pemangku kepentingan seperti organisasi profesi apoteker, akademisi farmasi, hingga pelaksana layanan kesehatan di berbagai fasilitas.

Laporan tersebut akan sangat berguna untuk mencari celah-celah kebocoran penggunaan antibiotik yang tidak rasional baik di komunitas maupun di rumah sakit dan klinik.

Langkah lain yang dapat terus dilakukan oleh pemerintah adalah mendorong penelitian-penelitian untuk mencari kandidat antibiotik baru baik yang berasal dari bahan alam atau modifikasi dari antibiotik yang sudah ada.

Selain itu, pemerintah juga berperan melakukan edukasi yang berkelanjutan kepada masyarakat, baik dengan menggandeng tenaga kesehatan maupun tidak, untuk menggunakan antibiotik secara benar dan rasional.

Masyarakat yang teredukasi akan lebih mudah menyampaikan kepada anggota komunitasnya untuk bisa menggunakan antibiotik dengan cermat dan semakin memudahkan tugas tenaga kesehatan di pelayanan.

Dengan pemetaan masalah berdasarkan data yang jelas, maka langkah-langkah pencegahan atau penanganan resistensi antimikroba dapat dilakukan dengan baik dan tepat sasaran.

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

banner 950x90