BADAN Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sulawesi Selatan pada tahun 2024 telah menyita barang bukti narkoba berupa 1.120,53 gram sabu dan 29.805,79 gram ganja.
Kemudian 460 butir Mefedron, 325.275 gram tembakau sintesis, dan 215.47 gram cookies ganja.
Selain itu, sebanyak 3.578 tersangka kasus penyalahgunaan narkotika yang telah ditindak oleh BNNP Sulsel.
Jumlah tersebut menempatkan Sulsel berada di posisi kelima tersangka narkoba terbanyak se-Indonesia.
Sementara itu, di awal tahun 2025 sendiri, khusus untuk wilayah Makassar, Sat Narkoba Polrestabes Makassar berhasil mengungkap sebanyak 59 kasus penyalahgunaan narkotika sepanjang Maret – April Tahun 2025.
Dalam pengungkapan tersebut sebanyak 90 tersangka berhasil diamankan.
Jumlah kasus dan penyitaan barang haram tersebut sudah barang tentu akan bertambah seiring dengan makin massifnya upaya yang dilakukan oleh pihak berwajib sebagai bagian dari pencegahan dan penindakan peredaran narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA) di lingkup Sulsel.
Antara Pasien, Korban dan Kriminal
‘Penyalahguna narkoba sejatinya bukan kriminal yang dipenjarakan, akan tetapi orang yang sakit dan perlu mendapatkan layanan rehabilitasi baik medis maupun sosial’.
Dalam Peraturan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia dengan Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor Per-005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014 dan Perber 01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi, yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 April 2014, dan dimuat dalam berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 465.
Inti dari peraturan bersama tersebut adalah pecandu narkotika, penyalahguna narkotika dan korban penyalahguna narkotika haruslah diberikan pengobatan, perawatan dan pemulihan pada lembaga rehabiltasi medis atau lembaga rehabilitasi sosial dengan cara terlebih dahulu.
Caranya adalah dengan dilakukan proses assesmen oleh tim assesmen yang terdiri dari tim dokter yang meliputi dokter dan psikologi dan tim hukum yang terdiri dari unsur Polri, BNN, Kejaksaan dan Kemenkumham.
Dari perspektif ini, seorang pecandu/pengguna penyalahguna narkoba bisa dikatakan sebagai seorang pasien yang punya hak terhadap akses layanan pengobatan.
Sebagaimana juga diperkuat oleh keputusan Mahkamah Agung , tertuang dalan SEMA (Surat Edaran Mahkama Agung) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Korban
Penyalahgunaan Dan pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial dan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika Di Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial.
Adapun mengenai penetapan sebagai kriminal atau sebatas korban, dapat kita pilah berdasar perspektif hukum.
Menurut UU Narkotika, penyalahguna narkoba dapat disebut dan diakui sebagai korban, terutama mereka yang menjadi korban penyalahgunaan karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, atau diancam.
Namun demikian, meskipun dianggap sebagai korban, penyalahguna narkoba juga dapat dikenakan sanksi pidana, terutama jika terlibat dalam peredaran atau kepemilikan narkoba.
Seorang penyalahguna narkoba itu pantas dikatakan kriminal jika orang tersebut menyalahgunakan narkoba dan secara simultan melakukan aksi kejahatan lainnya.
Terlebih ketika ia bertindak selaku produsen, bandar, pengedar, dan melakukan kejahatan tambahan lainnya.
Oleh karena itu, UU Narkotika mengatur sanksi pidana yang sangat keras terhadap pelanggaran narkotika, termasuk hukuman mati, penjara seumur hidup, atau hukuman penjara jangka panjang serta denda yang tinggi.***